BAGIKAN
Credit: Matt Seymour/Unsplash

Seorang pakar terkemuka bidang kesehatan mengeluarkan pernyataan pada pertemuan gugus tugas virus corona di Gedung Putih, AS tentang telah didapatkannya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa suhu panas dan cahaya matahari bisa membantu memperlambat penyebaran virus SARS-CoV-2, virus yang menjadi penyebab penyakit gangguan pernafasan COVID-19.

“Jika anda melihat virus corona ini sebagai sebagai sebuah rantai dengan banyak cabang, kami berhasil menemukan beberapa kelemahan dari salah satu cabang dari rantai tersebut, yang merupakan mekanisme transmisi dari virus ini,” kata William Bryan dari direktorat sains dan teknologi pada departemen keamanan dalam negeri AS. Dia mengatakan bahwa suhu panas, kelembaban, cahaya matahari dan sinar UV mungkin menjadi kelemahan dari rantai tersebut.

Para peneliti dari National Biodefense Analysis and Countermeasures Center yang merupakan bagian dari departemen keamanan dalam negeri AS telah melaporkan hasil penelitian tentang aspek biologi dari virus ini di bulan Februari lalu. Seperti dilansir oleh Ifl Science, para peneliti telah mengkonfirmasi penemuan tersebut namun belum bisa memberikan salinan hasil penelitian pendahuluan mereka hingga kini. Walaupun belum bisa memberikan kepastian kapan hasil penelitian ini dipublikasikan, Bryan mengatakan bahwa hasil penelitian mereka membuktikan bahwa sinar UV bisa “membunuh” virus corona ini dengan kontak langsung.



“Yang paling luar biasa dari penemuan kami adalah kemampuan dari sinar matahari untuk membunuh virus corona, baik pada permukaan maupun di udara. Dan efek yang sama juga ditunjukkan pada temperatur dan kelembaban udara, dimana kenaikan temperatur dan kelembaban bisa mengurangi kemampuan dari virus ini,” kata Bryan.

Secara umum, radiasi UV dari sinar matahari terbagi dalam tiga bentuk yaitu UVA, UVB dan UVC – yang terakhir diketahui yang paling berbahaya, karena mampu menghancurkan semua material genetis. WHO mengatakan bahwa radiasi UV tertentu berpotensi membunuh beberapa jenis patogen, demikian juga hasil penelitian pada virus SARS-CoV, virus corona yang mirip dengan SARS-CoV-2, menemukan bahwa sinar UVC mempunyai kemampuan membunuh virus.

Tetapi,tidak bisa diartikan bahwa berdasarkan penemuan ini, virus corona bisa dengan mudah sirna pada musim panas.

Dari beberapa bukti yang berhasil ditemukan, terkonfirmasi adanya hubungan antara temperatur udara panas dan melambatnya laju transmisi dari virus corona, tetapi para ahli memperingatkan agar tidak menghubungkannya dengan kemungkinan suhu panas atau sinar matahari mampu membunuh virus ini. 

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, infeksi oleh virus-virus penyebab flu dan pilek akan mencapai puncaknya pada musim dingin ketika orang-orang cenderung untuk berada di dalam ruangan tertutup. Dan sebagai perbandingan, laju terjadinya infeksi akan menurun pada musim panas ketika sekolah-sekolah dan berbagai universitas cenderung untuk lebih banyak melakukan kegiatan di luar ruangan. Tetapi penemuan ini tidak bisa menjelaskan mengapa pada wilayah-wilayah dengan udara lebih hangat masih terdapat kasus penularan dari virus.



Bryan menambahkan, hasil penelitian mereka ini bisa dijadikan senjata tambahan bagi kita dalam melawan pandemi ini. Ketika musim panas, dimana laju penularan virus akan menurun, adalah kesempatan bagi kita untuk menambah aktivitas di luar. Informasi ini mungkin bisa dijadikan faktor pertimbangan bagi otoritas setempat untuk kembali membuka wilayahnya kembali ketika musim panas. Tetapi para peneliti tetap merekomendasikan panduan WHO untuk melakukan social distancing, mencuci tangan dan menghindari menyentuh wajah.

Sementara itu WHO mengatakan bahwa berjemur di bawah sinar matahari pada suhu diatas 25 derajat celcius tidak akan mencegah terjadinya penularan virus corona. WHO juga mengatakan bahwa pada suhu paling panas di musim panas sekalipun, tidak dapat mencegah penularan COVID-19, karena pada negara-negara dengan temperatur hangat juga dilaporkan adanya kasus COVID-19.