BAGIKAN
Nebula planeter NGC 7027 [Credit: NASA]

Pada awalnya, alam semesta hanyalah terdiri dari tiga buah unsur tunggal setelah terjadinya Big Bang, sebelum terbentuknya bintang-bintang 100 juta tahun kemudian. Para ilmuwan terus berupaya selama puluhan tahun untuk mengetahui lebih jauh bentuk persenyawaan kimia di antara unsur-unsur tersebut.

Di tahun 1970-an para ilmuwan telah memperkirakan bahwa HeH+ dapat terbentuk di planeter nebula di mana dapat merepresentasikan bagaimana alam semesta awalnya terbentuk, tetapi sampai sekarang molekul ini masih belum ada yang bisa mendeteksinya.

Penemuan terbaru dari ion helium hidrida HeH+ di nebula NGC 7027 mengakhiri perburuan para ilmuwan untuk menemukan molekul yang sulit dipahami yang berada di luar angkasa, dan menyatukan berbagai prediksi teoritis kimia yang pada dasarnya memungkinkan terbentuknya alam semesta sebagaimana diketahui.

Nebula planeter menyebarkan cahayanya berupa awan gas terionisasi yang dihasilkan pada tahap terakhir sebuah bintang sebelum kematiannya.  Para ilmuwan menyepakati jika nebula planeter merupakan salah satu analogi astronomi termirip untuk sebuah reaksi kimia yang terjadi pasca Big Bang, setidaknya sejauh menyangkut HeH+.

“Itu adalah permulan dari reaksi kimia,” kata David Neufeld, dari Universitas John Hopkins dan rekan penulis studi yang merinci bagaimana para ilmuwan akhirnya mendeteksi molekul yang sulit dipahami di ruang angkasa, mengatakan kepada AFP.

“Pembentukan HeH+ adalah langkah pertama di jalur peningkatan kompleksitas di Alam semesta, sama pentingnya dengan perubahan dari sel tunggal menuju kehidupan multiseluler di Bumi” katanya kepada AFP.

“Kurangnya bukti tentang keberadaan helium hidrida di alam semesta setempat telah mempertanyakan pemahaman kita tentang kimia di alam semesta awal,” kata astronom Rolf Güsten kepada ScienceAlert.

Begitu semesta awal mendingin pada suhu di bawah 3726 derajat Celcius, setelah Big Bang yang terjadi hampir 14 miliar tahun yang lalu, teori menyatakan bahwa ion-ion unsur cahaya mulai bergabung kembali satu sama lain yang diawali dengan sebuah reaksi kimia, dan merupakan satu langkah penting yang mengawali keseluruhan proses yang terjadi selanjutnya.

“Penemuan HeH+ adalah demonstrasi dramatis dan indah dari kecenderungan Alam untuk membentuk molekul,” kata Neufeld di AFP.

Meskipun suhu di alam semesta awal menurun dengan cepat setelah peristiwa Big Bang ini merupakan lingkungan yang menyulitkan untuk terjadinya persenyawaan unsur dalam membentuk molekul.

Selain itu, helium adalah gas “mulia” “memiliki kecenderungan yang sangat rendah untuk membentuk molekul,” jelas Neufeld.

Penyatuan dengan hidrogen yang terionisasi adalah rapuh, dan tidak bertahan lama, digantikan oleh ikatan molekul yang semakin kuat dan kompleks.

Unsur-unsur yang lebih berat seperti karbon, oksigen, dan nitrogen — dan berbagai molekul — terbentuk selanjutnya yang masih dipicu oleh reaksi nuklir yang pada akhirnya mendorong terbentuknya berbagai bintang (sepeti Matahari).

“Dalam lingkungan yang bebas logam dan kepadatan rendah ini, atom-atom helium netral membentuk ikatan molekul pertama semesta dalam ion helium hidrida HeH+ melalui hubungan radiatif dengan proton,” Güsten dan rekan peneliti menjelaskan dalam sebuah makalah terbarunya yang diterbitkan di Nature.

Pada skala yang lebih kecil, para ilmuwan dapat mereplikasi kimia dasar di laboratorium hampir seabad yang lalu, tetapi helium hidrida – senyawa paling dasar dari unsur ini – tidak pernah ditemukan di alam terutama di nebula planeter.

Menurut para peneliti, hal itu dikarenakan atmosfer Bumi pada dasarnya bisa menjadi penghalang untuk pengamatan spektrometer berbasis daratan yang mencoba mengamati molekul pada panjang gelombang infra-merah tertentu yang dapat terlihat.

Selain itu, keterbatasan teknologi sebelumnya dalam spektrometri resolusi rendah menimbulkan keraguan terhadap pengamatan HeH+.

Jadi NASA dan Pusat Dirgantara Jerman bergabung untuk membuat observatorium udara dengan tiga komponen utama: teleskop besar 2,7 meter, spektrometer inframerah, dan Boeing 747 — dengan kotak mirip jendela yang dipotong dari badan pesawat — yang cukup besar dalam menyediakan tempat.

Menurut Güsten, GREAT (German Receiver for Astronomy at Terahertz Frequencies) adalah satu-satunya instrumen di seluruh dunia yang dapat melakukan pengamatannya, dan itu hanya akan mampu mengamati helium hidrida di luar angkasa jika sudah berada di udara terlebih dahulu.

“Seseorang tidak dapat melakukan pencarian ini dari observatorium berbasis daratan karena pada panjang gelombang 149 μm, atmosfer bumi benar-benar buram,” kata Güsten.

“Jadi, kamu harus pergi ke luar angkasa atau mengoperasikan instrumenmu dari platform penerbangan tinggi seperti SOFIA (Stratospheric Observatory for Infrared Astronomy), melayang di atas ketinggian atmosfer yang lebih rendah.”

Lebih dari tiga kali penerbangan pada Mei 2016, tim menggunakan spektrometer resolusi tinggi untuk mengamati planeter nebula NGC 7027, dan hasil dari pembacaan tersebut memberikan para ilmuwan persis seperti apa yang selama ini mereka cari: sinyal jelas pertama dari molekul pertama di luar angkasa (setidaknya setelah Big Bang).

“Kadar dari masing-masing sulit untuk diukur / dihitung, dan dalam literatur telah terjadi perubahan dengan faktor 10 dalam beberapa tahun terakhir,” kata Güsten kepada ScienceAlert.

“Pengamatan kami akan membantu untuk ‘mengkalibrasi’ angka-angka tersebut, dan ini akan memberi umpan balik ke ‘jaringan’ kimiawi semesta awal.”