BAGIKAN
Photo by 🇨🇭 Claudio Schwarz | @purzlbaum on Unsplash

Mutasi genetik yang terjadi pada virus penyebab COVID-19 tampaknya disebabkan oleh suatu protein yang ada pada manusia sendiri dengan tujuan untuk melemahkan virus. Tetapi, karena proses seleksi alam yang terjadi, maka telah membuat virus untuk kembali bangkit agar tetap bertahan. Menurut sebuah penelitian terhadap evolusi virus corona baru. yang telah mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal Molecular Biology and Evolution.

Para peneliti dari University of Bath menganalisis terhadap 15.000 genom virus dari semua upaya pengurutan genetik virus di seluruh dunia, dan mengidentifikasi lebih dari 6000 mutasi yang telah terjadi.

Mutasi genetik merupakan sesuatu yang umum terjadi pada organisme. Begitupun pada manusia sendiri. Sejak dilahirkan biasanya terjadi 10 hingga 100 mutasi baru dalam DNA manusia. Mutasi biasanya merupakan proses acak karena kesalahan yang terjadi ketika DNA disalin.



Namun, para peneliti menunjukkan bahwa dalam kasus SARS-CoV-2, mutasinya mungkin bukan karena suatu proses acak. Bahkan, mutasi pun terjadi pada manusia sebagai bagian dari mekanisme pertahanan untuk melemahkan kekuatan virus.

Kode genetik sebagian besar virus didasarkan pada RNA saja dan bukan DNA seperti kita. RNA dibuat menggunakan serangkaian basa nitrogen guanin (G), adenin (A), dan sitosin (C), yang juga digunakan oleh DNA, dan yang keempat dikenal sebagai urasil (U). Mutasi terjadi ketika pangkalan-pangkalan ini ditukar keluar dari tempatnya, mungkin mengubah cara kerja organisme tertentu.

Para peneliti meneliti seberapa banyak masing-masing dari empat huruf yang membentuk kode genetik virus (A, C, U dan G) telah bermutasi. Mereka menemukan bahwa virus memiliki tingkat mutasi yang sangat tinggi dalam menghasilkan residu U.

“Saya telah melihat berbagai profil mutasi dari sekian banyak organisme, dan semua itu menunjukkan semacam bias, tetapi saya belum pernah melihat yang sekuat dan seaneh seperti ini.” kata penulis senior Laurence Hurst, dari University of Bath.

Secara khusus mereka menemukan bahwa mutasi yang sangat umum terjadi akan menghasilkan pasangan UU yang berdekatan. Di mana telah bermutasi dari urutan CU dan UC sebelumnya. Mereka mencatat ini adalah sidik jari dari profil mutasi pada protein manusia yang disebut APOBEC, yang dapat memutasi berbagai virus.

“Sepertinya mutasi itu tidak acak, tetapi sebaliknya kita menyerang virus dengan memutasinya.” kata Hurst yang juga direktur dari Milner Centre for Evolution.

Tapi bagaimana mutasi ini pengaruhnya terhadap virus?

Dengan memperhatikan komposisi sebenarnya dari virus, dan membandingkan antara berbagai jenis lokasi pada virus, mereka menemukan bukti bahwa seleksi alam telah memungkinkan virus untuk melawan proses mutasi agar tetap bertahan.



Dari profil mutasi tim peneliti dapat memprediksikan, misalnya bahwa 65% dari residu seharusnya menjadi U dan 40% seharusnya menjadi pasangan UU. Tetapi dalam kenyataannya konten U jauh lebih rendah dan konten UU hanya sekitar seperempat dari yang telah diperkirakan.

“Ini bisa jadi dikarenakan jika virus memiliki terlalu banyak U di dalamnya, maka tidak akan bertahan cukup baik untuk bereproduksi. Kami memperkirakan bahwa untuk setiap 10 mutasi yang kita temui, ada 6 lainnya yang tidak pernah kita dapatkan karena virus-virus mutan tersebut terlalu buruk dalam memperbanyak” kata Hurst.

Dan ada beberapa alasan mengapa hal ini mungkin terjadi. Gen virus yang kaya akan U ditemukan tim kurang stabil dan terlihat pada tingkat yang lebih rendah. Manusia juga memiliki protein lain yang menyerang sekuens yang kaya akan residu U, yang mungkin dapat menghancurkan beberapa versi virus lainnya.

Hasil ini menunjukkan bahwa kita sedang menyerang virus dengan memutasinya dengan tujuan untuk melemahkannya. Ini juga memiliki implikasi dalam mendesain berbagai vaksin.

Berbagai penelitian saat ini lebih berfokus dalam menciptakan respons imun dari virus yang direkayasa untuk memiliki protein yang sama pada kulit luarnya seperti SARS-CoV-2. Jika temuan ini dikonfirmasi, dimungkinkan untuk mengubah SARS-CoV-2 secara langsung untuk membuat versi virus yang dilemahkan, yang tidak dapat membahayakan kita tetapi dapat melatih sel-sel kekebalan tubuh kita.

Profesor Hurst berkata: “Mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai seleksi alam dalam virus ini sangat membantu dalam memahami seperti apa versi virus yang dilemahkan semestinya.

“Kami menyarankan, misalnya, meningkatkan konten U, seperti APOBEC yang terdapat di dalam sel kita, akan menjadi sebuah strategi yang masuk akal.”