BAGIKAN
Dari berbagai perdebatan mengenai energi nuklir, topik yang sering muncul adalah mengenai limbah radioaktifyang dihasilkan oleh PLTN. Stigmatisasi yang disematkan pada limbah radioaktif PLTN gampang ditebak: bahwa limbah PLTN berbahaya dan sangat sulit ditangani. Kekhawatiran ini, menurut yang saya amati, berpangkal pada ketakutan akan radiasi nuklir, yang selama puluhan tahun mengalami disinformasi di kalangan masyarakat.Sebelumnya, perlu dipahami dulu kategorisasi terhadap limbah radioaktif. Secara umum, limbah radioaktif dibagi dalam tiga kategori, meski ada yang menggolongkannya dalam empat kategori. Di sini saya mengambil yang empat kategori, yaitu Very Low Level Waste(VLLW), Low Level Waste (LLW), Intermediate Level Waste (ILW) dan High Level Waste (HLW). Tiap kategori memiliki metode pengelolaan masing-masing, sebagian besar sudah digunakan.

VLLW memiliki kadar radiasi sangat rendah dan tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Biasanya terdiri dari material seperti beton, semen, batu bata, logam dan sebagainya, dari industri umum, seperti industri besi, industri kimia, dsb. Sebabnya adalah beberapa jenis mineral yang digunakan dalam industri-industri tersebut secara alami bersifat radioaktif. Bisa juga berasal dari bangunan industri nuklir yang entah mengalami rehabilitasi atau dismantling. Karena rendahnya kadar radiasi VLLW, limbah ini bisa dikelola sebagaimana limbah domestik lain. Tidak perlu perlakuan khusus. Apalagi pakai pakaian pelindung radiasi tebal untuk sekadar mendekati perangkat pengolahannya. Berlebihan sekali.

LLW memiliki kadar radiasi rendah, biasanya mengandung sedikit unsur radioaktif dengan waktu paruh pendek. LLW berasal dari rumah sakit dan industri nuklir, termasuk siklus bahan bakar nuklir, seperti kertas, pakaian, filter, serta alat-alat sejenis. Sama seperti VLLW, penanganannya tidak perlu menggunakan perisai radiasi. Limbahnya sendiri bisa dikubur di tanah dangkal. Untuk mengurangi volume, limbah ini bisa juga dikompaksi atau insinerasi/dibakar. LLW memiliki volume mencapai 90% limbah radioaktif, tapi hanya mewakili 1% radioaktivitas total.

ILW memiliki kadar radiasi sedang. Sebagian limbahnya membutuhkan perisai radiasi dalam pengelolaan. Asalnya dari resin, limbah kimiawi dan kelongsong bahan bakar, juga material yang terkontaminasi unsur radioaktif dari dekomisioning reaktor. Limbah-limbah yang berukuran kecil atau cair dapat dipadatkan dalam beton atau bitumen sebelum dikubur di tanah dangkal seperti LLW. ILW mewakili 7% volume limbah dan 4% radioaktivitas total.

Pengelolaan limbah dengan tiga level radioaktivitas di atas sudah dipraktikkan di banyak negara selama puluhan tahun tanpa ada masalah terhadap manusia maupun lingkungan. Tidak ada ceritanya orang jadi kena kanker atau mengalami mutasi genetik karena berurusan dengan VLLW, LLW dan ILW. Dan tidak, limbahnya bukan limbah cair berwarna hijau, menggelegak dan bisa hidup.

Di Indonesia, VLW dan ILW dari industri dan rumah sakit dikelola oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN. Setidaknya sudah 800 ton limbah yang dikelola PTLR BATAN. Untuk komparasi, limbah rumah tangga harian di Jakarta mencapai 9000 ton. Jadi volume limbah radioaktif itu tidak signifikan dan tidak penting untuk dikhawatirkan.

Terakhir adalah HLW. Limbah ini memiliki kadar radiasi sangat tinggi dan merupakan sisa dari pembakaran uranium di dalam teras reaktor nuklir. Kontennya terdiri dari produk fisi dan elemen transuranik yang dihasilkan dari reaksi fisi nuklir. HLW juga sangat panas, sehingga perlu didinginkan terlebih dahulu sebelum dikelola. Mengelolanya sendiri mesti menggunakan perisai radiasi tebal dan perangkat robotik. Volume HLW hanya 3% dari limbah radioaktif, tapi mewakili 95% radioaktivitas total. Dengan kata lain, limbah paling berbahaya memiliki volume paling sedikit.

Ketika dikeluarkan dari teras reaktor, bundel bahan bakar bekas masih sangat panas dan luar biasa radioaktif. Jadi, kelongsong ini disimpan dulu di kolam penampungan limbah sementara untuk didinginkan. Kolam ini berada di dalam bangunan reaktor, dibuat dari beton tebal dan dilapisi besi. Air yang digunakan mesti bebas mineral, untuk mencegah korosi.

Selain untuk pendinginan, air juga berfungsi sebagai perisai radiasi. Radiasi gamma dan netron yang terlepas dari bahan bakar bekas tidak bisa bergerak terlalu jauh dalam air. Sehingga, orang-orang yang berada di sekitar kolam terhindar dari dosis radiasi tinggi. Bahan bakar bekas memancarkan radiasi beta, yang dalam air bergerak lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Sifat itu menghasilkan efek bahan bakar bekas memancarkan cahaya biru, yang dikenal sebagai radiasi Cherenkov.

Contoh kolam penampungan limbah sementara (credit: ANS Nuclear Cafe)

Bahan bakar bekas didinginkan dalam kolam selama setidaknya lima tahun. Setelah sekitar lima tahun, radioaktivitas limbah tinggal 5% dari radioaktivitas awal ketika dikeluarkan dari teras reaktor. Lalu, bahan bakar bekas ini bisa dikeluarkan dan disimpan dalam kontainer penyimpanan kering yang terbuat dari beton. Bahan bakar bekas ini didinginkan dengan udara.

Contoh kontainer limbah kering (credit: Connecticut Yankee)
Untuk beberapa dekade atau mungkin abad, metode penyimpanan interim ini cukup memadai. Apalagi, setelah 40 tahun, radioaktivitas makin turun lagi sampai tinggal seperseribu radioaktivitas ketika dikeluarkan dari teras reaktor.

Apakah kontainer ini membahayakan orang-orang? Tidak sama sekali. It’s just sitting there! Kontainer ini ditata di dalam kompleks PLTN, para pekerja bisa mendekatinya tanpa harus pakai pakaian pelindung radiasi. Mau membahayakan masyarakat bagaimana?

Setelah ini, ada dua pilihan pengelolaan: didaur ulang atau langsung dibuang. Kalau didaur ulang, maka tidak perlu berpikir dulu soal pembuangan akhir. Tapi, kalau mau langsung dibuang (yang sebenarnya sayang sekali), maka opsi pembuangan limbah lestari mesti dipertimbangkan.

Ada beberapa opsi bagaimana pengelolaan HLW untuk dibuang secara permanen. Kalau mau gampang, tinggal proses saja limbah ini menjadi gelas borosilikat dan buang ke titik-titik acak di laut. Tidak ada yang bisa mengklaim cara ini tidak bisa dilakukan! Bahkan kalaupun seluruh HLW dari seluruh PLTN yang sedang dan pernah beroperasi di dunia ini semuanya dibuang ke laut, tidak akan ada masalah apa-apa. Radioaktivitas laut tidak akan naik barang 1% pun.

Sayangnya birokrasi dan politik menganggap cara seperti ilegal. Akhirnya, metode yang kemudian disepakati adalah dengan menyimpan HLW dalam repositori berupa formasi tanah dalam stabil. Beberapa tempat sudah diajukan untuk repositori abadi, seperti di Finlandia, Swedia, Prancis maupun Amerika Serikat. Di Swiss, ada sejenis formasi batuan alam di bawah tanah yang dianggap potensial untuk dijadikan repositori abadi.

Hanya saja, belum ada satupun dari repositori abadi itu yang digunakan. Repositori di Pegunungan Yucca, Amerika Serikat sendiri progresnya macet, gara-gara pemerintah federal Nevada menolak mengizinkan tempat itu menjadi repositori HLW.

Tapi sebenarnya, kebutuhan akan repositori limbah abadi ini belum terlalu mendesak. Toh, seperti saya sebutkan di awal, sebenarnya “limbah” ini masih bisa dimanfaatkan lagi. Ambil uranium dan transuranik-nya, lalu gunakan lagi di fast breeder reactor. Maka 90% bahan bakar bekas itu pun bisa terkonsumsi habis sembari menghasilkan listrik murah. Amerika Serikat, yang sampai saat ini mengambil kebijakan untuk tidak mendaur ulang bahan bakar, masih ada kemungkinan di masa depan untuk beralih mendaur ulang bahan bakar bekasnya. Selama masih disimpan di kontainer kering, bahan bakar bekas gampang untuk diambil lagi.

Volumenya juga sangat kecil. Kolam penampungan bahan bakar PLTN mampu menampun bahan bakar bekas selama waktu pakainya, antara 40-60 tahun. Ketika disimpan di kontainer kering pun, halaman kompleks PLTN masih lebih dari cukup untuk menampung bahan bakar PLTN sejumlah 60 tahun operasi. Tersimpan dengan rapi dan tidak ada potensi riil untuk membahayakan manusia dan lingkungan.

Dalam repositori abadi, limbah divitrifikasi dalam bentuk gelas borosilikat dan dikapsulasi dalam dalam silinder stainless steel setinggi 1,3 meter. Dr. Yudiutomo Imardjoko, ilmuwan nuklir Indonesia (dan dosen saya ketika kuliah), merancang desain kontainer limbah abadi yang mendapat pengakuan dari ilmuwan internasional.

Jadi, apa poin yang bisa diambil?

Salah besar kalau menduga teknologi nuklir tidak memiliki solusi mengenai limbah. Apalagi kalau menuduh seperti itu sembari mengimplikasikan bahwa teknologi industri lain tidak mengalami masalah dengan limbahnya. Padahal, pengelolaan limbah industri selain PLTN justru sangat buruk dan jauh tertinggal. Lebih mudah mengelola limbah nuklir daripada limbah kimia.HLW yang sering digunakan kaum anti-nuklir untuk menakut-nakuti masyarakat awam pun nyatanya overhyped. HLW berbentuk padatan terkonsentrasi dengan volume limbah tahunan cuma setara dua Kijang Innova. Professor Bernard L. Cohen dalam bukunya Nuclear Energy Option menjelaskan panjang lebar soal HLW, yang pada intinya adalah secara praktis tidak ada peluang HLW ini membahayakan masyarakat dalam bentuk apapun. Peluang kematian yang mungkin disebabkan HLW yang dikubur dalam repositori abadi adalah 0,6 kematian dalam rentang jutaan tahun. Itupun kalau misal benar-benar ada yang mati.

Untuk semua jenis limbah, teknologi nuklir memiliki metode pengelolaan yang jelas, terstruktur dan sebagian besar sudah dilaksanakan selama puluhan tahun dengan sukses. Tidak ada industri lain yang bisa menyamai prestasi pengelolaan limbah industri nuklir. Tidak pernah ada pula ceritanya limbah nuklir meracuni sungai atau sumber air masyarakat di sekitarnya. It’s simply impossible.

Keputusan mengenai HLW sendiri bukan masalah teknologi, melainkan urusan politik. Utamanya resistansi nimby (not in my backyard) dan politik anti-nuklir, politics of unreasonable fear. Sementara, urusan politik sedikit sekali, kalau bukan sama sekali tidak terkait dengan persoalan-persoalan saintifik.

Persoalan bagaimana mengelola limbah radioaktif sudah selesai dari dulu. Yang belum selesai adalah keputusan politik soal daur ulang bahan bakar bekas. Itu saja. Sekali lagi, bukan masalah teknologi, tapi masalah politik.

(R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.)
Departemen Multimedia Komunitas Muda Nuklir Nasional, asisten penelitian TAHRMoPS bidang proteksi radiasi