BAGIKAN
[Simon]

Kejatuhan Angkor telah lama membingungkan para sejarawan, arkeolog dan ilmuwan, tetapi sekarang tim peneliti dari University of Sydney satu langkah lebih dekat untuk menemukan apa yang telah menyebabkan kematian kota – dan bisa menjadi peringatan bagi masyarakat perkotaan modern sekarang.

Dibangun di atas sistem kanal yang rumit, tanggul dan penampungan air, Angkor pernah menjadi kota terbesar di dunia, dengan luas sekitar 1000 km2. Namun, pada abad ke-15 terjadi kemerosotan populasi dalam jumlah besar.

Tim multidisipliner akademisi, peneliti dan mahasiswa yang dipimpin oleh Profesor Mikhail Prokopenko, dan Profesor Associate Daniel Penny, menemukan bahwa kota di abad pertengahan mengalami tekanan dari iklim eksternal ditambah dengan infrastruktur yang kelebihan beban dalam sistem kanal, yang melalui pemetaan secara mendalam menunjukkan bukti kerentanan terhadap bencana besar.

Penampakan Kuil Angkor Wat dari udara [Charles J Sharp / CC BY 2.5]
Prokopenko percaya bahwa penelitian ini sangat penting untuk meningkatkan infrastruktur di era meningkatnya peristiwa cuaca yang sering menciptakan risiko baru dan menggoncang lingkungan perkotaan.

Dia mengatakan, “Jaringan infrastruktur yang kompleks memberikan layanan penting terhadap masyarakat kota tetapi bisa rentan terhadap tekanan eksternal, termasuk variabilitas iklim.

“Kegagalan beruntun dari infrastruktur penting di Angkor yang diakibatkan oleh iklim ekstrem menekankan kembali pentingnya membangun ketahanan pada jaringan modern.”

Setelah bekerja di The Greater Angkor Project selama 18 tahun, Daniel Penny berkata, “Untuk pertama kalinya, mengidentifikasi kerentanan sistemik dalam jaringan infrastruktur Angkor telah memberikan penjelasan mekanistik atas kehancurannya, memberikan pelajaran penting bagi lingkungan urban kontemporer kita.”

Kedua peneliti percaya bahwa risiko keruntuhan jaringan telah menjadi lebih akut karena konglomerasi perkotaan menjadi lebih besar, lebih kompleks, dan memiliki lebih banyak orang yang tinggal di dalamnya.

“Infrastruktur pengelolaan air di Angkor telah dikembangkan selama berabad-abad, menjadi sangat besar, saling terkait erat, dan bergantung pada komponen yang semakin menua. Perubahan iklim di pertengahan abad ke-14, dari kekeringan berkepanjangan menuju hujan sepanjang tahun, menempatkan terlalu banyak tekanan pada jaringan rumit ini, membuat distribusi air menjadi tidak stabil,” kata Profesor Prokopenko.

Faktor-faktor di balik kehancuran Angkor juga sebanding dengan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat urban modern yang berjuang dengan infrastruktur penting yang kompleks dan peristiwa cuaca ekstrim, seperti banjir dan kekeringan.

Profesor Prokopenko melanjutkan, “Kami menemukan bahwa jaringan infrastruktur di lingkungan perkotaan pra-industri sebenarnya berbagi karakteristik topologi dan fungsional yang sangat umum dengan jaringan kompleks modern.”

Dalam sistem yang kompleks, respon bencana dan kegagalan beruntun, seperti pengabaian kota, dapat juga disebabkan oleh perubahan yang sangat kecil atau bahkan serangkaian perubahan yang terakumulasi yang menyebabkan sistem atau jaringan mencapai ‘titik kritis’.

Ada beberapa contoh titik balik yang dihadapi oleh dunia modern, seperti kematian kembali Amazon, pemadaman listrik Australia Selatan 2016 dan El Niño-Southern Oscillation.

Profesor Prokopenko percaya bahwa penelitian tim menekankan perlunya pemerintah dan masyarakat untuk fokus pada membangun ketahanan terhadap jaringan perkotaan modern, terutama dalam menghadapi perubahan iklim.

“Tidak hanya kemungkinan bencana, kegagalan infrastruktur mungkin juga telah terjadi di masa lalu, tetapi hasil dari penelitian ini sangat penting untuk pemahaman masyarakat kita tentang bagaimana iklim dan sumber daya terdistribusi mempengaruhi fungsi kota dan masyarakat kita.

“Jika kita tidak membangun ketahanan  dalam infrastruktur penting kita, kita mungkin menghadapi gangguan yang parah dan bertahan lama terhadap sistem sipil kita, yang dapat diintensifkan oleh guncangan eksternal dan mengancam lingkungan dan ekonomi kita,” ia menyimpulkan.

Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Proyek Angkor Besar dalam hubungannya dengan inisiatif CRISIS University of Sydney yang memodelkan risiko sosial dan peristiwa ekstrem.

The Greater Angkor Project adalah program penelitian kolaboratif antara University of Sydney (Arkeologi dan Geosains), Otoritas Nasional APSARA dan École Française d’Extrême-Orient, yang telah berusaha untuk menjelaskan kematian dan pengabaian Angkor selama 16 tahun terakhir.

Studi baru ini telah diterbitkan di Science Advance .