BAGIKAN
Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Credit: JAXA/NASA

Panspermia adalah suatu teori yang menyatakan bahwa kehidupan di bumi tidak berasal dari planet kita, tetapi dari tempat lain di alam semesta yang dibawa ke bumi oleh meteor atau komet. Berbagai objek angkasa tersebut bisa membawa serta bahan-bahan tertentu yang dapat memicu suatu kehidupan. Misalnya bakteri, yang akan dapat bertahan selama perjalanan panjangnya di luar angkasa dengan segala kondisi ekstrimnya.

“Asal usul kehidupan di Bumi adalah misteri terbesar umat manusia. Para ilmuwan dapat memiliki sudut pandang yang sangat berbeda-beda tentang masalah ini. Beberapa orang berpikir bahwa kehidupan sangat langka dan hanya terjadi sekali di alam semesta, sementara yang lainnya berpikir bahwa kehidupan dapat terjadi pada setiap planet yang cocok. Jika panspermia memungkinkan, kehidupan pasti lebih sering muncul dari yang kita duga sebelumnya,” kata Akihiko Yamagishi, dari Universitas Farmasi dan Ilmu Hayati Tokyo dan peneliti utama misi luar angkasa Tanpopo.

Meskipun masih kontroversial, salah satu argumen yang mendukung teori panspermia adalah munculnya kehidupan tak lama setelah periode bumi dibombardir oleh objek-objek angkasa. Antara 4 dan 3,8 miliar tahun yang lalu Bumi mengalami serangkaian hujan meteor yang sangat kuat dan berkepanjangan. Namun, bukti paling awal kehidupan di Bumi menunjukkan keberadaannya sekitar 3,83 miliar tahun yang lalu, tumpang tindih dengan fase pengeboman ini. Di sisi lain pada periode ini makhluk hidupnya ini akan menghadapi kepunahan, dan mungkin diganti dengan yang baru. Tapi bukan berasal dari Bumi.



Sebelumnya, Yamagishi dan timnya  telah menemukan keberadaan bakteri Deinococcus yang melayang di udara, 12 km di atas bumi. Menunjukkan keberadaan mikroba di atmosfer. Bakteri ini dapat tahan terhadap radiasi UV ketika menjadi suatu koloni yang besar. Yamagishi dan timnya ingin mengetahui apakah bakteri ini juga mampu bertahan cukup lama di luar angkasa, sehingga dapat mendukung kemungkinan dari panspermia.

Selanjutnya Yamagishi dan tim Tanpopo, menguji ketahanan dari Deinococcus di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa agregat tebal dapat memberikan perlindungan yang cukup untuk kelangsungan hidup bakteri selama beberapa tahun di ruang angkasa yang lingkungannya keras.

Dalam pengujiannya, para peneliti meletakkan agregat kering dari Deinococcus pada panel eksposur yang berada di luar ISS. Setiap agregat memiliki ketebalan berbeda-beda dan dibiarkan terbuka selama beberapa tahun menghadapi kerasnya lingkungan ruang angkasa.

Setelah tiga tahun, para peneliti menemukan bahwa semua agregat yang lebih tinggi dari 0,5 mm sebagian bertahan terhadap kondisi ruang angkasa. Pengamatan menunjukkan bahwa meskipun bakteri-bakteri di permukaan agregatnya mati, ia menciptakan lapisan pelindung untuk bakteri di bawahnya untuk memastikan kelangsungan hidup koloni. 

Ruang eksposur di luar ISS (Image credits: JAXA/NASA)




Menggunakan data kelangsungan hidup pada satu, dua, dan tiga tahun paparan, para peneliti memperkirakan bahwa pelet yang lebih tebal dari 0,5 mm akan bertahan antara 15 hingga 45 tahun di ISS. Rancangan percobaan memungkinkan peneliti untuk mengekstrapolasi dan memprediksi bahwa koloni dengan diameter 1 mm berpotensi bertahan hingga 8 tahun dalam kondisi luar angkasa.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa radioresistant Deinococcus dapat bertahan selama perjalanan dari Bumi ke Mars dan sebaliknya, yang memakan waktu beberapa bulan atau tahun pada orbit terpendek,” kata Yamagishi.

Hingga saat ini, setidaknya penelitian ini memberikan perkiraan terbaik dari kelangsungan hidup bakteri di luar angkasa. Ini adalah studi ruang angkasa dengan jangka waktu yang panjang pertama, yang meningkatkan kemungkinan bahwa bakteri dapat bertahan hidup di ruang angkasa dalam bentuk agregat, memunculkan konsep baru  dari “massapanspermia“. 

Namun, transfer mikroba juga bergantung pada proses lainnya seperti ejeksi dan pendaratan, di mana kelangsungan hidup bakteri masih perlu dinilai.

Penelitian ini telah dipublikasikan di Frontiers in Microbiology.