BAGIKAN
(Wesley Gibbs/Unsplash)
(Wesley Gibbs/Unsplash)

Dengan terus berkembangnya dukungan global untuk cannabis (ganja) medis, jumlah negara yang menyetujui penggunaan non-psikoaktif cannabinoid yang dikenal dengan nama cannabidiol (CBD) untuk mengobati penyakit epilepsi pada anak, juga semakin meningkat.

Namun, sebuah penelitian baru yang dipublikasikan dalam jurnal Drug Science, Policy and Law mengindikasikan bahwa obat-obatan cannabis spektrum penuh yang mengandung zat psikoaktif cannabinoid tetrahydrocannabinol (THC) lebih efektif dalam mengurangi frekuensi dan keparahan kejang dari penyakit epilepsi.

Potensi cannabis untuk mengobati epilepsi pada anak-anak mulai mendapatkan perhatian luas di tahun 2011, ketika sebuah strain baru cannabis yang diberi nama Charlotte’s Web berhasil dikembangkan sebagai obat untuk seorang anak perempuan bernama Charlotte Figi, yang menderita suatu jenis penyakit epilepsi langka yang dikenal dengan nama Dravet Syndrome. 

Obat dengan komposisi hampir seluruhnya terdiri dari CBD dan hanya sejumlah kecil THC ini dapat menghentikan kejang tanpa henti yang diderita Charlotte yang sebelumnya muncul setiap 30 menit sekali.

Apa yang terjadi pada Charlotte menginspirasi banyak negara di dunia untuk melegalkan pemakaian CBD murni sebagai pengobatan untuk berbagai bentuk dari penyakit epilepsi anak, walaupun hingga kini banyak peneliti yang menyatakan bahwa keseluruhan bagian tumbuhan cannabis – bukan hanya zat cannabinoid- dibutuhkan untuk dapat menghasilkan efek terapeutik (efek medis sesuai dengan tujuan pengobatan). 

Dan menurut teori ini, kemanjuran dari tanaman ini untuk mengobati penyakit yang disebut dengan “efek rombongan” berasal dari interaksi antara zat cannabinoid dan senyawa terpen yang ada di dalam tumbuhan cannabis.

Untuk menguji teori ini, para peneliti melakukan penelitian yang melibatkan sepuluh pasien yang berasal dari Inggris yang semuanya menderita satu bentuk epilepsi anak dan selama ini gagal dalam merespon pengobatan konvensional. Saat ini, pemerintah Inggris hanya mengizinkan pemakaian CBD murni, bukan ekstrak cannabis berspektrum penuh, untuk mengobati kondisi ini. Empat partisipan pada penelitian ini telah menjalani pengobatan dengan CBD, dan tidak memberikan hasil.

Ekstrak cannabis spektrum penuh diberikan pada setiap partisipan, dan beberapa diantaranya mendapatkan obat yang mengandung 14 persen THC dan kurang dari 1 persen CBD. Dan partisipan lainnya diberikan cannabis yang terdiri dari sembilan persen CBD dan kurang dari satu persen THC. Total dosis THC perhari antara 6,6 hingga 26,5 miligram, dan dosis CBD perhari bervariasi antara 200 hingga 550 miligram.

Sebelum dilakukan trial ini, para partisipan mengalami antara 357 hingga 18.000 kejang per bulan. Dan setelah dilakukan trial pengobatan cannabis medis ini, frekuensi kejang menurun drastis dari 0 hingga 750 kali per bulan – menurun hingga 97 persen. Menurut mereka yang merawat pasien-pasien ini, para partisipan juga merasakan kemajuan signifikan dalam kemampuan kognitif, pengaturan emosi, serangan panik dan juga tidur. Tidak ada efek negatif dilaporkan dalam trial pengobatan ini.

Di Inggris, undang-undang yang dikeluarkan pada bulan November 2018, memungkinkan para dokter untuk meresepkan produk cannabis yang belum mendapatkan persetujuan jika memang dibutuhkan. Dan para peneliti mencatat bahwa hanya 20 resep semacam itu yang diberikan para dokter selama dua tahun terakhir.

Sementara itu, hasil survei nasional yang dilakukan oleh the Centre for Medical Cannabis mengungkap bahwa sekitar 72.000 penderita epilepsi di Inggris saat ini menjalani pengobatan mandiri dengan cannabis yang diperoleh dari pasar gelap.

Berdasarkan data ini, para peneliti menghimbau para pejabat pemerintahan untuk memperluas akses dalam mendapatkan cannabis medis spektrum penuh melalui badan layanan kesehatan nasional Inggris (National Health Service – NHS).