BAGIKAN

Di jantung provinsi Mpumalanga, Afrika Selatan, tersembunyi di dalam lapisan batuan kuno, para ilmuwan baru saja menemukan sebuah “harta karun” ilmiah. Bukan tulang belulang raksasa, melainkan sisa-sisa karbon mikroskopis yang telah membatu.

Berdasarkan analisis terbaru yang dipadukan dengan kecerdasan buatan (machine learning), jejak karbon dari situs Josefsdal Chert ini dikonfirmasi sebagai bukti kimiawi kehidupan paling awal yang pernah ditemukan di Bumi, dengan usia yang mencengangkan: 3,33 miliar tahun.

Jejak yang Nyaris Terhapus Waktu

Ketika berbicara tentang fosil, imajinasi kita sering tertuju pada tulang dinosaurus yang kokoh. Namun, kehidupan awal di Bumi bermula dari mikroba super kecil yang bertubuh lunak. Selama miliaran tahun, sisa fisik mereka hancur digerus waktu, panas, dan tekanan geologis, hingga nyaris mustahil dibedakan dari debu arang biasa.

Robert Hazen, ahli mineralogi dan astrobiologi dari Carnegie Institution for Science, menjelaskan bahwa tantangan terbesarnya adalah membedakan apakah sisa karbon hitam di batuan purba itu benar-benar bekas makhluk hidup (biologis) atau hanya hasil proses geologi mati (non-biologis). “Hasil kami menunjukkan bahwa kehidupan purba meninggalkan lebih dari sekadar fosil fisik; mereka meninggalkan ‘gema’ kimiawi,” ujar Hazen.

Material organik ditemukan pada batuan berusia 2,5 miliar tahun. (Andrew D. Czaja/Carnegie Institution for Science)

Teknologi Baru Membaca Masa Lalu

Untuk memecahkan misteri ini, tim peneliti tidak hanya mengandalkan mikroskop, tetapi juga menggandeng kekuatan algoritma komputer. Prosesnya dimulai dengan melatih machine learning agar mampu mendeteksi pola kimiawi halus yang menjadi tanda tangan unik makhluk hidup. Selanjutnya, sebanyak 406 sampel—mulai dari organisme modern hingga fosil purba—dipanaskan menggunakan teknik Py-GC-MS untuk memecah materi organik menjadi fragmen-fragmen kecil hingga “sidik jari” massanya terlihat. Hebatnya, ketika model AI tersebut menyisir data hasil analisis ini, ia mampu mengidentifikasi pola kehidupan dengan tingkat akurasi mencapai lebih dari 90 persen.

Hazen mengumpamakan metode canggih ini seperti menyusun sebuah puzzle raksasa: “Bayangkan menunjukkan ribuan keping puzzle ke komputer, lalu meminta komputer menebak apakah gambar aslinya adalah bunga atau meteorit. Alih-alih fokus pada satu molekul saja, kami mencari pola kimiawinya secara utuh.”

Fosil rumput laut berusia hampir satu miliar tahun disertakan dalam penelitian ini (Kate Maloney/Michigan State University)

Menulis Ulang Sejarah Fotosintesis

Dampak dari teknologi ini ternyata luar biasa. Selain mengonfirmasi kehidupan di angka 3,33 miliar tahun, metode ini juga berhasil mengidentifikasi bukti fotosintesis tertua pada batuan berusia 2,52 miliar tahun (dari Afrika Selatan) dan 2,3 miliar tahun (dari Kanada).

Temuan ini secara efektif memundurkan garis waktu sejarah fotosintesis di Bumi hingga 800 juta tahun lebih awal dari yang diperkirakan para ilmuwan sebelumnya.

Mendengar “Hantu” Molekuler

Semakin tua usia batuan, semakin pudar sinyal kehidupannya karena degradasi geologis yang ekstrem. Namun, keberhasilan mendeteksi jejak biokimia di Josefsdal Chert membuktikan bahwa kehidupan sudah menyebar di Bumi setidaknya sejak 3,33 miliar tahun lalu—dan mungkin jauh lebih awal lagi.

Seperti yang disimpulkan oleh Hazen, metode ini memungkinkan kita membaca “hantu” molekuler yang ditinggalkan kehidupan awal. Batuan tertua di Bumi menyimpan banyak cerita rahasia, dan kini, untuk pertama kalinya, kita benar-benar mulai bisa mendengarnya.


Diadaptasi dari publikasi penelitian di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.