BAGIKAN
Simpanse Lembah Issa mencari dedaunan di hutan terbuka. (Rhianna C. Drummond-Clarke/GMERC)

Selama puluhan tahun, banyak buku sains menggambarkan nenek moyang manusia pertama kali berdiri tegak karena terpaksa meninggalkan pepohonan. Saat hutan berubah menjadi sabana terbuka di Afrika, mereka harus berjalan dengan dua kaki untuk mencari makan sambil menghadapi ancaman pemangsa besar. Namun, penelitian terbaru justru menantang gambaran klasik ini.

Bipedalisme: Dari Atas Pohon, Bukan dari Tanah Lapang?

Studi unik yang dipimpin oleh para peneliti dari Max Planck Institute of Evolutionary Anthropology di Jerman mengamati perilaku simpanse di Lembah Issa, Tanzania. Temuan mereka mengejutkan: simpanse di daerah sabana kering masih menghabiskan banyak waktu di pepohonan, sama banyaknya dengan kerabatnya yang tinggal di hutan lebat.

Mengapa begitu? Salah satu alasannya, makanan yang tersedia di habitat sabana lebih sulit diproses — biji harus dikeluarkan dari polong, buah sering masih keras dan berserat. Untuk mengolahnya, simpanse tetap memilih berada di atas pohon.

Rahasia Gerakan di Cabang Pohon

Yang menarik, simpanse yang berbadan besar tidak selalu bisa melompat-lompat dengan mudah di dahan. Mereka sering menggantung, berpegangan, atau bahkan berjalan tegak sambil berpegang pada cabang untuk menjaga keseimbangan.

Inilah petunjuk penting: mungkin nenek moyang manusia belajar berdiri tegak justru di atas pohon, sambil berlatih menggunakan kedua kaki mereka. Seperti anak kecil belajar naik sepeda dengan roda bantu, nenek moyang kita berlatih berjalan sambil berpegangan pada cabang, sebelum akhirnya benar-benar percaya diri berjalan di tanah lapang.

Bukti dari Fosil dan Lingkungan

Sekitar 5–7 juta tahun lalu, saat zaman Miosen berakhir, hutan berubah menjadi sabana. Banyak ilmuwan dulu beranggapan perubahan inilah yang memaksa nenek moyang manusia berjalan tegak. Namun, fosil menunjukkan bahwa beberapa hominin (kelompok manusia purba) di periode itu masih memiliki lengan panjang dan jari melengkung — tanda bahwa mereka tetap ahli memanjat pohon.

Bahkan, analisis gigi dan isotop karbon memperlihatkan mereka masih mengonsumsi banyak makanan dari pepohonan, meskipun hidup di lanskap terbuka. Artinya, hubungan mereka dengan pohon belum sepenuhnya terputus.

Apa Artinya bagi Kita?

Jika benar nenek moyang manusia mulai berlatih berjalan tegak di pepohonan, ini mengubah cara kita memahami evolusi manusia. Bipedalisme bukanlah sekadar strategi untuk menaklukkan padang sabana, tetapi keterampilan yang diasah perlahan dari atas cabang pohon hingga akhirnya menjadi gaya hidup utama di daratan.

Dengan bipedalisme, manusia purba bisa menjangkau sumber makanan yang lebih beragam, menjelajah lebih jauh, dan pada akhirnya menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia.

Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Ecology and Evolution, dan membuka kembali perdebatan menarik: bukan hanya “kapan” kita mulai berjalan dengan dua kaki, tetapi juga “di mana” — mungkin bukan di tanah lapang, melainkan di atas dahan pohon.


Referensi:

1. Foraging strategy and tree structure as drivers of arboreality and suspensory behaviour in savannah-dwelling chimpanzees

  • Penelitian oleh Rhianna C. Drummond‑Clarke dan tim ini merupakan studi terbaru (2025) yang secara khusus mengamati perilaku simpanse di Lembah Issa, Tanzania.
  • Ditemukan bahwa simpanse di habitat savana-mozaik tetap banyak melakukan aktivitas di pohon, termasuk perilaku suspensori (menggantung) dan bipedal terbantu—bahkan saat mencoba menjangkau makanan di ujung dahan yang tipis Science+11Frontiers+11Cosmos+11.
  • Hasil ini menunjukkan bahwa struktur pohon (ukuran, bentuk tajuk, jumlah cabang) memengaruhi cara bergerak simpanse—bahkan mendorong mereka menggunakan bipedalisme saat berada di atas pohon Frontiers.

2. Liputan berita ilmiah & press release (Frontiers News / ScienceAlert / ScienceDaily / lainnya)

  • Artikel di Frontiers News (29 Juli 2025) menyampaikan bahwa, meski tinggal di habitat savana-mozaik, simpanse Issa tetap banyak berada di pepohonan saat foraging. Mereka bahkan sering berjalan tegak sambil berpegangan pada cabang—menunjukkan bahwa bipedalisme dapat berkembang dalam konteks arboreal PMC+11Frontiers+11ScienceDaily+11.
  • Liputan dalam ScienceAlert (baru saja diterbitkan) juga mendukung ide ini, bahwa “bipedalism may have helped us reach up, rather than out”—yakni evolusi berjalan tegak lebih dipicu kebutuhan meraih makanan di pohon, bukan sekadar berjalan di darat Cosmos+4ScienceAlert+4Popular Mechanics+4.

Studi Terdahulu: Science Advances (2022)

  • Jurnal Science Advances memuat artikel penting oleh Drummond‑Clarke et al. (2022): “Wild chimpanzee behavior suggests that a savanna‑mosaic habitat did not support the emergence of hominin terrestrial bipedalism“.
  • Penelitian ini merupakan studi pertama yang menguji secara langsung hipotesis bahwa savana memicu bipedalisme pada hominin lewat studi terhadap simpanse hidup.
  • Hasil menunjukkan bahwa pohon tetap menjadi elemen penting dalam adaptasi hominin, dan bipedalisme kemungkinan berevolusi dalam konteks arboreal, didorong oleh strategi mencari makan Tech Explorist+11ResearchGate+11Science+11SciTechDaily.