BAGIKAN

Dibanding Sudirman yang Panglima Gerilya dan Nasution yang pakar gerilya, nama Adolf Lembong kalah terkenal. Padahal, Lembong merupakan salah satu gerilyawan Indonesia yang paling gemilang. Lembong tak jago kandang karena pernah gerilya di Filipina ini, tak sempat bergerilya di Indonesia meski dia pernah ikut berjuang di pihak Indonesia.

Kuba dan Argentina boleh bangga dengan Che Guevara. Dia bergerilya di dua negara. Indonesia sebetulnya punya sosok semacam Che. Jika membaca buku sejarah Indonesia, ada Adolf Lembong yang hanya dikenal sebagai korban keganasan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan bekas Kapten Westerling di Bandung. Masyarakat Indonesia belum mengenalnya sebagai seorang gerilyawan.

Nama Lembong kini dikenang sebagai nama jalan di kota Bandung. Letaknya tak jauh dari Jalan Braga. Dulunya jalan itu bernama Oudhospital Weg (Bld: jalan rumah sakit lama). Selama ini, cerita Lembong sebelum terbunuh di Bandung tak terdengar sama sekali. Masyarakat hanya tahu: Lembong korban APRA Westerling.

Beruntung, Lembong pernah menulis laporan gerilyanya selama di Filipina. Laporan itu diketik dalam bahasa Inggris. Laporan itu belakangan diarsipkan oleh intel Belanda, Netherland Forces Intelligence Service (NEFIS). Arsip ini bisa ditemukan di Arsip Nasional Belanda di Amsterdam. Judulnya, Laporan kegiatan gerilya Adolf Lembong (Letnan Satu LGAF USAFFE) Agustus 1943 hingga April 1945.

Fredrik Willem, sejarawan Belanda yang melakukan riset tentang Kapten Westerling, membuka arsip tersebut tahun lalu. Selain laporan ini, NEFIS juga mengkliping artikel tentang Adolf Lembong yang ditulis Arsenio Lucson dengan judul Inside Indonesia. Artikel ini dimuat surat kabar Manila Times ediisi 15 November 1948.

Aksi gerilya Lembong di Filipina, bagi Arsenio tak jauh beda dengan kisah-kisah dalam film laga buatan Hollywood. Karena itu, Arsenio menuliskan secara singkat kisah gerilya Lembong di Filipina dan keberpihakannya kepada Republik Indonesia.
Bukan Jago Kandang

Sebelum Abdul Haris Nasution menulis Pokok-pokok Gerilya, bahkan sebelum Nasution sendiri terlibat perang gerilya, Lembong sudah terlibat dalam perang gerilya di Filipina melawan Tentara fasis Jepang. Lembong sebenarnya tak pernah berniat pergi ke Filipina. Namun, perang pasifik membawanya ke sana.

Sebelum jadi tawanan Jepang, Adolf Gustaaf Lembong adalah operator radio KNIL dengan nomor registrasi 41642. Lembong asal Minahasa. Bersama kawan-kawannya yang ikut ditawan, Lembong dijadikan heiho (pembantu tentara).

Mereka dikirim dengan kapal ke dekat medan pertempuran Pasifik. Beberapa hari dia di Rabaul lalu di Luzon, Filipina. Setelah terjalin kontak dengan gerilyawan Filipina, Lembong dan sesama heiho, mereka kabur dari kamp Jepang. Lembong dan kawan-kawannya lalu bertemu gerilyawan Filipina dan tentara Amerika.

“Jangan berkecil hati. Milikilah harapan dan terus berjalan, dan jangan bertanya ke mana kita akan pergi! Waktunya akan datang dan tujuan kita akan tercapai,” kata perwira Amerika itu dalam bahasa Inggris. Hanya Lembong yang paham bahasa Inggris di antara para pelarian itu.

Berkali-kali rombongan itu bertemu tentara Jepang. Namun, komandan Amerika itu tak mau mengambil risiko, dan mencari jalan aman sekaligus menghindari kontak senjata. Tak jarang, Lembong dan kawan-kawan gerilyanya ditolong oleh orang-orang Filipina. Selama bergerilya pernah juga Lembong menyamar sebagai penduduk lokal Filipina. Dia memasuki desa atau kota di mana tentara Jepang juga berkeliaran. Pernah Lembong mengaku sebagai penjaga kampung pada serdadu Jepang yang memeriksanya. Lembong juga pernah menyamar menjadi kondektur kereta api.

Dengan mata agak sipit dan kulit putihnya, Lembong sering dikira sebagai orang Jepang. Dia bahkan nyaris terbunuh karane dikira mata-mata Jepang. Kepada orang-orang Filipina yang ditemui, Lembong tak ragu untuk jujur soal identitasnya.

“Saya Adolf Lembong bekas tentara Belanda,” aku Lembong pada orang-orang Filipina. Dan Lembong mulai di kenal sebagian orang Filipina. Dalam kondisi terjepit, Lembong pernah dipercaya untuk memimpin sebuah regu gerilya untuk sementara waktu.

Nama Lembong mulai diperhitungkan para gerilyawan di Filipina setelah terlibat adu tembak dengan serdadu Jepang. Lembong ikut merobohkan serdadu Jepang dengan tembakan-tembakannya. Ini adalah kontak senjata pertama Lembong selama di Filipina. Setelah kejadian itu, dia dipercaya oleh komandan gerilya Tentara Amerika, Kapten Robert Lapham, dari Tentara Amerika keenam di Filipina.

Lapham lalu memberi pangkat Letnan Dua pada Lembong. Jabatannya adalah instruktur lalu merangkap perwira intelijen. Beberapa bulan kemudian, dia diangkat sebagai komandan Squadran 270. Pasukannya adalah orang-orang Minahasa yang ikut kabur bersamanya ditambah beberapa orang Filipina.

Suatu kali, Lembong dan pasukannya hanya berdiam di markas saja. Tak ada perintah menyergap Jepang atau perintah lainnya. Tak banyak pekerjaan yang dilakukan Lembong di sekitar markas gerilya. Dia merasa tak bisa berdiam diri. Tanpa menunggu lama lagi, Lembong memanggil anak buahnya.

Lembong berniat menyergap serdadu Jepang yang melintasi di jalan negara. Sembilan gerilyawan, yang kesemuanya orang Manado bekas KNIL, ikut bersamanya. Pada 6 Januari 1945 mereka berangkat ke jalan negara San Leon. Mereka tak langsung bertemu rombongan serdadu Jepang.

Malam itu, terlebih dahulu mereka mengepung gedung pusat makanan dan peralatan Jepang. Mereka cukup beruntung. Gedung itu tak dijaga tentara Jepang. Mereka ambil semua bahan pakaian dan makanan dari gudang dan membagikannya kepada orang-orang.

“Kemenangan untuk semua,” teriak Lembong dan kawan-kawan.

Esok harinya, pada 7 Januari, mereka beraksi lagi. Sebuah truk berisi serdadu-serdadu Jepang, mereka sergap. Sebanyak 27 serdadu Jepang terbunuh dalam penyergapan itu. Tak ada satupun korban pun di pihak Lembong. Mereka hanya bersepuluh. Esok paginya mereka terlibat pertempuran lagi, sebelum akhirnya kembali ke markas gerilya.

Orang-orang Manado yang terlibat dalam penyergapan truk itu antara lain Alexander Rawoeng, Jan Pelle, Marcus Taroreh, Marthin Sulu, Alexander Kewas, Albert Mondong, Hendrik Terok, Andries Pacasi ,dan William Tantang.

Setelah Squadron 270 dibubarkan, Lembong dapat promosi pada 22 Januari 1945. Pangkatnya naik jadi Letnan Satu. Dia ditempatkan di Batalyon Pertama Infanteri APO 6, di bawah komando letnan Kolonel Francis Corbin sebagai komandan batalyon.

“Aku menyebutnya Crack battalion karena batalyon ini selalu berani berhadapan langsung dalam posisi tembak tentara Jepang,” kata Lembong. Mereka terus bergerak bahkan maju meskipun ada tembakan senapan mesin, artileri juga sniper dari tentara Jepang.

Di Filipina, di masa-masa gerilya, Lembong bertemu jodohnya. Ia adalah seorang gerilyawan wanita Filipina yang sering membantu gerilyawan Minahasa. Asuncion Angel atau Cion namanya, asli Pangasinan, Filipina. Cion dinikahi Lembong 26 Oktober 1944. Belakangan, Cion setia menemani perjuangan Lembong, bahkan ikut pulang ke Indonesia.

Petrik Matanasi