BAGIKAN
Peta Lempeng Sunda dan lempeng-lempeng di sekitarnya [Wikimedia Commons]

“Peneliti mencatat bahwa zona suture utama, yang membentang sekitar 10.000 kilometer, masih aktif hari ini di Indonesia, dan mungkin bertanggung jawab atas periode gletser Bumi saat ini dan munculnya lapisan es yang luas di kutub.”

Selama 540 juta tahun terakhir, Bumi telah melewati tiga zaman es utama — periode di mana suhu global turun secara drastis, menghasilkan lapisan es dan gletser yang luas yang telah membentang hingga melewati batas kutub.

Sekarang para ilmuwan di MIT, Universitas California di Santa Barbara, dan Universitas California di Berkeley telah mengidentifikasi kemungkinan yang dapat memicu menuju zaman es ini.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Science, tim melaporkan bahwa masing-masing dari tiga zaman es utama terakhir didahului oleh “benturan busur benua” tropis, yaitu peristiwa tabrakan tektonik yang terjadi di dekat khatulistiwa Bumi, di mana lempeng samudera naik di atas lempeng benua, menyingkapkan puluhan ribu kilometer batuan samudera menuju sebuah lingkungan tropis.

Para ilmuwan mengatakan bahwa panas dan kelembapan tropis cenderung memicu reaksi kimia antara batuan dan atmosfer. Secara khusus, kalsium dan magnesium batuan bereaksi dengan karbon dioksida atmosfer, menarik gas keluar dari atmosfer dan secara permanen mengasingkannya dalam bentuk karbonat seperti batuan kapur.

Seiring waktu, para peneliti mengatakan, proses pelapukan ini, yang terjadi pada lebih jutaan kilometer persegi, dapat menarik karbon dioksida yang terdapat dari atmosfer yang cukup untuk mendinginkan suhu global dan pada akhirnya memicu sebuah zaman es.

“Kami berpikir bahwa tabrakan benua-benua di lintang rendah adalah pemicu pendinginan global,” kata Oliver Jagoutz, seorang profesor dari MIT.

“Ini bisa terjadi lebih dari 1-5 juta kilometer persegi, yang kedengarannya sangat luas. Tetapi pada kenyataannya, itu adalah lapisan Bumi yang sangat tipis, yang berada di lokasi yang tepat, yang dapat mengubah iklim secara global.”

Ketika sebuah lempeng samudera terdorong ke atas lempeng benua, tabrakan tersebut biasanya menciptakan serangkaian gunung batuan yang baru muncul. Zona patahan di sepanjang di mana lempeng samudera dan benua bertumbukan ini disebut sebagai “suture”.

Saat ini, pegunungan tertentu seperti Himalaya mengandung suture yang telah bermigrasi dari titik tumbukan aslinya, karena benuanya telah bergeser selama ribuan tahun.

Pada tahun 2016, Jagoutz dan rekan-rekannya menelusuri kembali pergerakan dua suture yang saat ini membentuk Himalaya. Mereka menemukan bahwa kedua suture berasal dari migrasi tektonik yang sama. Delapan puluh juta tahun yang lalu, ketika superbenua yang dikenal sebagai Gondwana bergerak ke utara, sebagian daratannya bertabrakan dengan Eurasia, menimbulkan garis panjang batuan samudera dan menciptakan suture pertama; 50 juta tahun yang lalu, tabrakan lain di antara superbenua membuat suture kedua.

Tim menemukan bahwa kedua tabrakan terjadi di zona tropis di dekat khatulistiwa, dan keduanya mendahului peristiwa pendinginan atmosfer global selama beberapa juta tahun — yang terhitung sebentar pada skala waktu geologis. Setelah melakukan penelusuran terhadap tingkat di mana batuan samudera terbuka, yang juga dikenal sebagai ofiolit, dapat bereaksi dengan karbon dioksida di daerah tropis, para peneliti menyimpulkan bahwa, mengingat lokasi dan besarnya, kedua suture itu memang bisa menyerap cukup banyak karbon dioksida untuk mendinginkan atmosfer dan memicu kedua zaman es tersebut.

Menariknya, mereka menemukan bahwa proses ini kemungkinan bertanggung jawab untuk mengakhiri kedua zaman es juga. Selama jutaan tahun, batuan samudera yang ada bereaksi dengan atmosfer akhirnya terkikis, diganti dengan batuan baru yang lebih sedikit menyerap karbon dioksida.

“Kami menunjukkan bahwa proses ini dapat memulai dan mengakhiri glasiasi [proses yang terjadi akibat suhu di bumi mengalami penurunan sehingga permukaan air laut turun dan daratan menjadi luas],” kata Jagoutz.

“Lalu kami bertanya-tanya, seberapa sering itu terjadi? Jika hipotesis kita benar, kita seharusnya menemukan bahwa untuk setiap kali terjadi peristiwa pendinginan, menandakan terdapat banyak suture di daerah tropis.”

Para peneliti melakukan penelusuran untuk mengetahui apakah zaman es yang lebih jauh sebelumnya dalam sejarah Bumi dapat dikaitkan dengan tabrakan busur-benua yang sama di daerah tropis juga?

Mereka melakukan pencarian berbagai literatur secara luas untuk mengkompilasi berbagai lokasi dari semua zona suture utama yang ada di Bumi saat ini, dan kemudian menggunakan sebuah simulasi komputer dari lempeng tektonik untuk merekonstruksi pergerakan zona suture-nya, lempeng benua dan samudera bumi, di sepanjang waktu. Dengan cara ini, mereka dapat menentukan dengan tepat di mana dan kapan setiap suture pada awalnya terbentuk, dan seberapa panjang setiap suture dapat terbentang.

Mereka mengidentifikasi tiga periode selama 540 juta tahun terakhir di mana suture utama, dengan panjang sekitar 10.000 kilometer, dibentuk di daerah tropis. Masing-masing periode ini bertepatan dengan masing-masing dari tiga jaman es utama yang terkenal, pada saat Ordovisium Akhir (455 hingga 440 juta tahun lalu), Permo-Carboniferous (335 hingga 280 juta tahun lalu), dan Kenozoikum (35 juta tahun lalu lalu sampai sekarang). Hal yang terpenting adalah mereka menemukan tidak ada zaman es atau peristiwa glasiasi selama periode ketika zona suture utama terbentuk di luar daerah tropis.

“Kami menemukan bahwa setiap kali ada puncak di zona suture di daerah tropis, terdapat peristiwa glasiasi,” kata Jagoutz. “Jadi setiap kali Anda mendapatkan, katakanlah, 10.000 kilometer suture di daerah tropis, Anda mendapatkan sebuah zaman es.”

Dia mencatat bahwa zona suture utama, yang membentang sekitar 10.000 kilometer, masih aktif hari ini di Indonesia, dan mungkin bertanggung jawab atas periode gletser Bumi saat ini dan munculnya lapisan es yang luas di kutub.

Zona tropis ini mencakup beberapa objek ofiolit terbesar di dunia dan saat ini merupakan salah satu daerah paling efisien di Bumi untuk menyerap dan menyita karbon dioksida. Ketika suhu global meningkat sebagai akibat karbondioksida yang berasal dari manusia, beberapa ilmuwan telah mengusulkan penggerusan sejumlah besar ophiolit dan menyebarkan mineral di seluruh sabuk khatulistiwa, dalam upaya untuk mempercepat proses pendinginan secara alami ini.

Tetapi Jagoutz mengatakan tindakan menggerus dan mengangkut bahan-bahan ini dapat menghasilkan tambahan emisi karbon yang tidak diinginkan. Dan tidak jelas apakah tindakan seperti itu dapat membuat dampak signifikan dalam kehidupan kita.

“Merupakan tantangan untuk membuat proses ini bekerja pada rentang waktu manusia,” kata Jagoutz. “Bumi melakukan ini dalam proses geologis yang lambat, yang tidak ada hubungannya dengan apa yang kita lakukan pada Bumi hari ini. Dan itu tidak akan membahayakan sekaligus menyelamatkan kita.”