BAGIKAN
[Daniel Brubaker/ unsplash]

Setiap orang tahu bahwa kita harus mempunyai waktu tidur yang cukup agar bisa tampil prima keesokan harinya. Menurut hasil penelitian neurologis terbaru ada konsekuensi emosional yang akan dihadapi apabila kita tidak mendapat cukup istirahat dan bisa berdampak lebih buruk dari yang kita sadari.

Dalam sebuah studi terbaru yang menganalisa hasil pemindaian otak dari partisipan yang sehat, para ilmuwan berhasil menetapkan sebuah hubungan kausal antara kualitas tidur seseorang dan tingkat gangguan kecemasan pada keesokan harinya.

“Kami berhasil mengidentifikasi manfaat lain dari tidur lelap, salah satunya adalah menurunnya tingkat gangguan kecemasan keesokan harinya dengan membangun kembali koneksi di dalam otak,” kata ahli saraf Matthew Walker dari University of California, Berkeley.




“Tidur lelap adalah antiansietas (golongan obat bagi gangguan mental) alami, selama bisa dilakukan setiap hari dan setiap malam.”

Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah memberi peringatan tentang apa yang akan terjadi pada otak ketika kita tidak mendapatkan tidur yang cukup, dan telah banyak dilakukan eksperimen ekstrim untuk meneliti konsekuensi psikologis yang akan dihadapi ketika kita tidak mendapatkan cukup tidur.

Diperkirakan ada jutaan orang yang tidak mendapatkan cukup waktu tidur dan hasil riset terbaru dari Walker mengilustrasikan adanya masalah yang jauh lebih besar yang muncul dari kondisi tersebut.

Para peneliti memindai otak dari 18 orang dewasa berusia muda pada dua sesi percobaan, selama menjalani eksperimen mereka menyaksikan video yang menceritakan sebuah skenario yang memancing respon emosional dari partisipan.

Salah satu dari sesi ini dilakukan pada pagi hari, setelah partisipan menikmati tidur nyenyak semalaman. Dan sesi lainnya dilakukan pada pagi hari berikutnya, setelah mereka tidak tidur semalaman di laboratorium, melakukan hal-hal lain seperti membaca, menonton film dan melakukan permainan bersama (sambil diawasi untuk memastikan bahwa mereka benar-benar tidak tidur).

Setelah kedua sesi dijalankan, para partisipan diukur tingkat gangguan kecemasannya dengan melakukan tes yang disebut dengan State-Trait anxiety Inventory, dan hasil tes menunjukkan bahwa kurang tidur dimalam hari secara efektif memicu kenaikan hingga 30 persen tingkat gangguan kecemasan pada partisipan.




Dan perlu dicatat bahwa 78 persen dari semua partisipan dalam kondisi kurang tidur dilaporkan mengalami peningkatan gangguan kecemasan, menguatkan pendapat kami bahwa dampak kurangnya tidur akan meningkatkan gangguan kecemasan pada individu yang sehat,” penulis artikel menjelaskan dalam artikel penelitian ini.

Dan setengah dari partisipan yang mengalami kekurangan waktu tidur telah melewati tingkat tertinggi  gangguan kecemasan yang menunjukkan adanya gejala gangguan kecemasan klinis pada partisipan tersebut- dan mereka mengalami kondisi tersebut hanya karena kurang waktu tidur dalam satu malam saja.

“Tanpa tidur, seperti jika otak disamakan dengan kendaraan, maka dia bekerja terlalu berat pada pedal akselerator emosional tetap tidak cukup rem untuk menghentikannya,’ kata Walker.

Hasil pemindaian fMRI dari kedua sesi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan reaktivitas emosional akibat dari kurangnya waktu tidur di bagian otak amigdala (yang berfungsi mengontrol reaksi emosi kita) dan dorsal anterior cingulate yang akan bereaksi seketika mendapatkan respon emosional.

Ketika aktifitas di bagian otak tersebut meningkat pada partisipan yang kurang waktu tidur, aktifitas di medial prefrontal cortex– yang salah satu fungsinya adalah mengontrol emosi seperti kecemasan- akan terhenti.

Dan sebaliknya, ketika dilakukan tes dengan polisomnografi (alat kesehatan yang digunakan untuk mendiagnosis gangguan tidur) pada partisipan ketika mereka sedang tidur mengindikasikan bahwa partisipan dengan tingkat kecemasan terkecil dialami oleh mereka yang tidur hingga mencapai tahap paling dalam, yang disebut dengan tidur gelombang lambat (slow wave sleep-SWS) yang merupakan tahap ketiga dari tidur tanpa gerakan mata cepat (non rapid eye movement-NREM).

Hasil studi eksperimental kami menunjukkan bahwa, kekurangan waktu tidur akan secara langsung memicu naiknya tingkat kecemasan pada individu yang tidak mempunyai masalah kecemasan klinis ketika mendapat waktu tidur yang cukup,” para peneliti menjelaskan.

“Penemuan ini mendefinisikan sebuah klausa adanya pengaruh kurangnya waktu tidur pada timbulnya gejala gangguan kecemasan, yang bisa memicu timbulnya gejala kelainan gangguan kecemasan.”

Tim peneliti membagikan hasil riset awal mereka tahun lalu, tetapi sekarang mereka mempublikasikannya, hasil tinjauan dari rekan sejawat menyebutkan bahwa diperlukan eksperimen tambahan untuk menguatkan hasil penemuan mereka.




Laporan hasil riset ini menyertakan eksperimen tambahan dari satu kelompok yang terdiri dari 32 partisipan yang mengulang eksperimen polisomnografi, dan hasil riset online yang melibatkan 300 partisipan, yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang siklus tidur mereka setiap malam dan juga tingkat kecemasan mereka setiap hari -menawarkan pandangan bahwa walaupun karena gangguan kecil sekalipun dalam siklus tidur bisa berdampak dan menimbulkan gangguan kecemasan.

Tim peneliti mengatakan bahwa data yang mereka hasilkan bisa dijadikan landasan neural untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa kurang waktu tidur bisa berkontribusi pada gangguan kecemasan dan juga kurangnya kualitas tidur bisa memperburuk gejala gangguan kecemasan.

Sebagai tindakan pencegahan, kami merekomendasikan peningkatan kualitas tidur yang terbukti berpotensi untuk mengurangi gejala gangguan kecemasan.

Dengan kata lain, tidur sangat baik untuk anda. Dan lebih lanjut Walker mengatakan, “Pengurangan waktu istirahat yang menjadi tuntutan kebanyakan negara yang tengah mrmbangun industri akan sejalan dengan peningkatan jumlah kasus gangguan kecemasan dalam negara tersebut, dan hal itu bukanlah sebuah kebetulan.”

Sebuah pernyataan dari hasil sebuah penelitian yang terdengar sangat masuk akal, dan pada saat yang bersamaan terdengar memiliki arti yang sangat dalam.

Jadi, kualitas tidur kita bisa menjadi sebuah obat anti kecemasan non medis yang bisa diandalkan dan telah terbukti kebenarannya, dan kita harus menjaga kualitas tidur kita setiap saat.

Artikel ini dipublikasikan dalam Nature Human Behaviour.