Angka buta huruf di Indonesia belum sepenuhnya berada di titik nol. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan sekitar 2,07 persen atau 3,4 juta orang belum mengenal huruf dan mampu membaca.Angka buta aksara pada usia 15-59 tahun itu tersebar di 11 provinsi di Tanah Air. Dilansir Antaranews, Senin (11/9/2017), sebanyak 28,75 persen warga di Papua masih belum mampu mengenal huruf dan membaca. Papua menjadi provinsi paling tinggi angka buta hurufnya.
Sejumlah provinsi di Indonesia juga masih buta huruf dan belum mampu membaca. Sebanyak 7,91 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat; 5,15 persen di Nusa Tenggara Timur; 4,58 persen di Sulawesi Barat; 4,50 persen di Kalimantan Barat; 4,49 persen di Sulawesi Selatan; 3,57 persen di Bali; 3,47 persen di Jawa Timur; 2,90 persen di Kalimantan Utara; 2,74 persen di Sulawesi Tenggara; dan 2,20 persen di Jawa Tengah.
Sementara 23 provinsi lainnya sudah berada di bawah angka nasional. Jika dilihat dari perbedaan gender, tampak bahwa perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah 1.157.703 orang laki-laki dan perempuan 2.258.990 orang.
Persentase buta aksara itu menurun dibandingkan tahun 2015, sebanyak 3,56 persen atau 5,7 juta penduduk buta aksara. Pada 2014, jumlah penduduk buta aksara adalah 3,7 persen atau 5,9 juta orang.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memberikan apresiasi kepada para pemangku kepentingan pendidikan yang telah membantu pemerintah sehingga berhasil menurunkan angka buta aksara.
Muhadjir mengatakan, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia juga tidak terlepas dari penduduk yang mengalami buta aksara.
“Walaupun penduduk buta aksara di negara kita tinggal 2,07 persen atau 3,4 juta orang, kita perlu kerja keras lagi untuk menuntaskannya,” kata Muhadjir di acara puncak Peringatan Hari Aksara Internasional 2017, di GOR Ewangga, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (8/9/2017).
Dari indeks buta huruf di dunia, berdasarkan riset dari Rektor Universitas Central Connecticut State di New Britain, John Miller, menyatakan pada tahun 2016 Indonesia masih menempati peringkat 60 dari 61 negara yang berhasil dihimpun datanya. Riset ini menekankan pada hasil ujian mengenal huruf dan juga melihat karakteristik sikap terpelajar.
Contohnya, jumlah perpustakaan dan koran di sekolah serta ketersediaan komputer di sebuah negara. Pada riset ini tidak hanya melihat kemampuan penduduk negara dalam membaca dan menulis saja, namun juga perangkat pendukung dan sikap terpelajar warganya.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih mengatakan prihatin melihat jumlah angka buta huruf di Tanah Air. Abdul Fikri mengatakan pemerintah terutama Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Perpustakaan Nasional perlu berkoordinasi guna menekan tingginya jumlah warga yang buta huruf.
Selain itu, anggaran untuk meningkatkan daya masyarakat untuk mampu mengenal huruf dan mampu membaca masih tergolong rendah dibandingkan di negara-negara ASEAN. Singapura mengalokasikan anggaran untuk institusi seperti Perpusnas hingga Rp1,7 triliun per tahun, Malaysia sampai Rp66,8 triliun, namun Indonesia hanya Rp500 miliar.
Faktor lain, kata Abdul Fikri, pemicu tingginya angka buta huruf di Indonesia adalah rendahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Seharusnya, pemerintah daerah saling melengkapi tidak harus terus bergantung dengan pemerintah pusat.