Di Jepang, lebih mungkin untuk melihat seekor ular habu dalam sebotol minuman beras lokal Awamori, di Okinawa, daripada yang sedang merayap di pinggir jalan. Meski begitu, habu sangat umum di pulau Ryukyu di mana Okinawa adalah bagiannya. Okinawa adalah rumah bagi tiga spesies ular habu. Ular habu Okinawa (Protobothrops flavoviridis) merupakan hewan ciri khas pulau Ryukyu adalah ular yang sangat berbisa.
Sebuah tim kolaboratif ilmuwan dari banyak lembaga penelitian dan universitas di Jepang kini telah memetakan seluruh genome dari habu Okinawa, termasuk gen yang terlibat dalam memproduksi racun. Profesor Nori Satoh dan tim peneliti dari OIST, adalah bagian dari penelitian, yang diterbitkan dalam Science Report .
Racun ular telah menarik perhatian banyak ilmuwan di seluruh dunia karena memiliki potensi yang luar biasa dalam pengembangan obat baru. Temuan dari penelitian ini dapat membantu upaya lanjutan untuk mengidentifikasi terapi baru untuk mengobati penyakit seperti kanker, penyakit kardiovaskular dan banyak lainnya.
Untuk penelitian ini, para peneliti menangkap habu Okinawa dari alam liar dan mengumpulkan racun, darah dan sampel jaringannya. Kemudian, menggunakan fasilitas pengurutan DNA mutakhir di OIST, para peneliti mengidentifikasi hampir 60 gen dari 18 keluarga gen yang berbeda yang membantu makhluk ini memproduksi racunnya.
Hampir 50 orang – kebanyakan pekerja pertanian yang sedang merawat tanaman di ladang dan kebun – dilaporkan digigit oleh ular habu setiap tahun di Okinawa saja. Racun Habu Okinawa adalah hemotoxic, menghancurkan sel-sel darah dan jaringan. Meskipun obat penawar sekarang telah tersedia, gigitannya masih bisa menyebabkan rasa sakit yang parah dan kerusakan jaringan permanen pada manusia.
Para ilmuwan berharap hasil penelitian ini akan membantu mengembangkan obat penawar dan pengobatan yang lebih efektif untuk gigitan ular habu. “Temuan penelitian ini sangat penting, terutama untuk orang-orang Okinawa dan pulau-pulau sekitarnya di mana ular habu Okinawa ditemukan,” kata Prof. Satoh.
Bisa ular adalah campuran protein kompleks. “Meskipun habu Okinawa tidak berbisa seperti kobra atau taipan, ia dapat menghasilkan racun dalam jumlah besar – hingga 1 ml,” kata Prof. Hiroki Shibata, kolaborator dari Universitas Kyushu. Taringnya yang panjang dan tajam membantu mengeluarkan racun menembus jauh ke dalam jaringan mangsanya, ia menjelaskan.
Genom dari setiap organisme adalah harta karun yang berupa informasi. Pemetaan gen racun dari ular habu tidak hanya memungkinkan para ilmuwan untuk mengeksplorasi potensinya dalam pengembangan obat, tetapi juga memberikan para ilmuwan alat untuk mempelajari bagaimana racun-racun telah berevolusi, komposisi mereka dan mekanisme di mana racun tersebut melakukan pengrusakan.
Para peneliti mengeksplorasi sejarah evolusi racun ini dengan membangun pohon filogenetik gen racun termasuk gen yang mereka identifikasi pada ular habu. Pohon filogenetik membantu menggambarkan hubungan antara dua atau lebih kelompok organisme dengan mengidentifikasi persamaan dan perbedaan di antara mereka. Jarak antara kelompok-kelompok dalam sebuah pohon diterjemahkan ke berbagai tingkat keterkaitan di antara mereka. Kelompok-kelompok yang ditempatkan dekat lebih terkait satu sama lain daripada yang ditempatkan lebih jauh.
Ular berbisa di seluruh dunia milik salah satu dari dua keluarga; Viperidae atau Elapidae. Anggota keluarga Viperidae, termasuk habu, memiliki racun yang berefek pada darah (hemotoxic); sedangkan anggota keluarga Elapidae, seperti kobra, memiliki racun yang beracun bagi sistem saraf (neurotoksik).
Dalam studi ini, para peneliti menemukan banyak komponen umum di antara gen racun dari kedua keluarga, sehingga melacak asal-usul racun-racun saat ini ke leluhur bersama yang ada di jutaan tahun yang lalu. “Salinan gen racun berasal sejak lama, mungkin pada tahap awal evolusi vertebrata,” jelas Prof. Shibata.
Para ilmuwan percaya bahwa gabungan informasi yang dikumpulkan dari penelitian racun sejauh ini, akan membantu mengungkap misteri di balik proses produksi racun pada ular.