BAGIKAN
José Ignacio García Zajaczkowski / Unsplash

Sebuah penelitian menemukan bahwa respon kekebalan yang luar biasa dari kelelawar terhadap virus di sisi lain dapat menyebabkan virusnya untuk bereplikasi lebih cepat. Ketika virus ini berpindah pada mamalia yang memiliki sistem kekebalan biasa, seperti manusia, virus tersebut menimbulkan petaka yang mematikan.

Bukan suatu kebetulan bahwa beberapa wabah penyakit virus terburuk dalam beberapa tahun terakhir seperti SARS, MERS, Ebola, Marburg dan kemungkinan virus 2019-nCoV, berasal dari kelelawar

Beberapa kelelawar yang dikenal sebagai sumber awal infeksi pada manusia telah terbukti menjadi tuan rumah bagi sistem kekebalan yang terus-menerus dipersiapkan untuk meningkatkan pertahanan terhadap virus. Infeksi virus pada kelelawar ini menyebabkan respon yang cepat dalam menghambat virus. Meskipun hal ini dapat melindungi kelelawar agar tidak terinfeksi dengan jumlah virus yang tinggi, namun akhirnya mendorong virus ini untuk bertambah lebih cepat di dalam inang sebelum pertahanannya siap dipasang.


Hal ini menjadikan kelelawar sebagai reservoir unik dari virus yang cepat bertambah banyak dan sangat mudah menular. Meskipun kelelawar dapat mentolerir virus-virus seperti ini, namun ketika virus tersebut selanjutnya pindah pada hewan yang tidak memiliki respon sistem kekebalan yang cepat, maka dengan cepat akan membanjiri inang barunya, yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.

“Beberapa kelelawar ini mampu meningkatkan respon antivirus yang kuat, tetapi juga menyeimbangkannya dengan respon anti-peradangan,” kata Cara Brook, dari UC Berkeley dan penulis utama penelitian ini. “Sistem kekebalan tubuh kita akan menghasilkan peradangan luas jika mencoba strategi antivirus yang sama dengan ini. Tetapi kelelawar tampak unik cocok untuk menghindari ancaman imunopatologi.”

Para peneliti mencatat bahwa dengan merusak habitat kelelawar tampaknya akan memberikan tekanan pada hewan ini. Pada kondisi seperti ini, akan lebih memungkinkan bagi kelelawar untuk menyebarkan virusnya melalui air liur, urin, dan kotorannya yang dapat menginfeksi hewan lain.

“Ancaman lingkungan yang meningkat terhadap kelelawar dapat menambah ancaman zoonosis,” kata Brook.

“Intinya adalah bahwa kelelawar memiliki potensi yang istimewa dalam hal menampung virus,” kata Mike Boots, dari UC Berkeley. “Tidaklah acak bahwa kebanyakan dari virus ini berasal dari kelelawar. Kelelawar bahkan tidak berhubungan dekat dengan kita, jadi kita tidak akan memperkirakannya sebagai tuan rumah bagi kebanyakan virus manusia. Tetapi karya ini menunjukkan bagaimana sistem kekebalan kelelawar dapat mendorong virulensi yang mengatasinya.”

Sebagai satu-satunya mamalia terbang, kelelawar mampu untuk meningkatkan metabolismenya selama terbang hingga dua kali lipat yang dicapai oleh tikus yang berukuran sama ketika berlari.



Pada umumnya, aktivitas fisik yang kuat dan tingkat metabolisme yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih tinggi karena akumulasi molekul reaktif, terutama radikal bebas. Tetapi kelelawar tampaknya telah mengembangkan mekanisme fisiologis untuk secara efisien membersihkan molekul-molekul yang merusak ini sehingga tetap dapat beterbangan.

Ini memiliki manfaat tambahan yaitu membersihkan molekul-molekul yang merusak yang dihasilkan oleh peradangan dengan penyebab apa pun secara efisien, yang dapat menjelaskan rentang hidup yang lama dan unik dari kelelawar. Beberapa kelelawar bisa hidup hingga 40 tahun, sedangkan tikus dengan ukuran yang sama bisa hidup hanya 2 tahun saja.

Peradangan yang cepat mereda juga mungkin memiliki kelebihan lain: mengurangi peradangan yang terkait sebagai tanggapan kekebalan dari antivirus.

Dalam pengujiannya, para peneliti mencoba menularkan virus mematikan seperti Ebola dan Marburg pada sel kelelawar dan sel monyet hijau. Sementara pertahanan sel monyet hijau dengan cepat kewalahan dan terbunuh oleh virus, sebagian dari sel-sel kelelawar berhasil menutup diri dari infeksi virus.

Brook and Boots menciptakan model sederhana sistem kekebalan kelelawar untuk menciptakan kembali eksperimen mereka di komputer.

“Ini menunjukkan bahwa memiliki sistem interferon yang benar-benar kuat akan membantu virus ini bertahan di dalam inangnya,” kata Brook. “Ketika Anda memiliki respon kekebalan yang lebih tinggi, Anda mendapatkan sel-sel yang terlindung dari infeksi, sehingga virus benar-benar dapat meningkatkan tingkat replikasi tanpa menyebabkan kerusakan pada inangnya. Tetapi ketika itu menyebar ke sesuatu seperti manusia, kita tidak memiliki mekanisme antivirus yang sama, dan kita bisa mengalami banyak patologi.”

Para peneliti mencatat bahwa banyak virus kelelawar melompat ke manusia melalui perantara hewan. SARS sampai ke manusia melalui musang sawit Asia, MERS melalui unta, Ebola melalui gorila dan simpanse, Marburg melalui monyet hijau Afrika. Meskipun demikian, virus ini masih tetap sangat ganas dan mematikan setelah melakukan lompatan terakhir ke manusia.

“Sangat penting untuk memahami lintasan infeksi agar dapat memprediksi kemunculan dan penyebaran serta penularannya,” kata Brook.

Studi ini telah diterbitkan di jurnal eLife.