Tim paleoantropolog yang dipimpin oleh Christopher J. Bae dari University of Hawai‘i at Mānoa dan Xiujie Wu dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology di Chinese Academy of Sciences telah mengungkap spesies hominin baru yang dinamai Homo juluensis. Nama ini berarti “kepala besar”, mencerminkan ciri khas fisik spesies ini. Homo juluensis hidup di Asia Timur antara 300.000 hingga 50.000 tahun lalu, menjadikannya bagian penting dalam memahami evolusi manusia pada periode Kuarter Akhir.
Catatan fosil hominin dari periode Akhir Kuarter (~300.000–50.000 tahun BP) di Asia Timur telah mengungkap tingkat variabilitas morfologi yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya diasumsikan. Variabilitas ini menantang kesederhanaan model evolusi tradisional dan menyoroti keberadaan beberapa populasi berbeda, beberapa di antaranya baru-baru ini diberi nama taksonomi baru: Homo floresiensis, H. luzonensis, H. longi, dan H. juluensis. Sintesis dari catatan fosil saat ini menunjukkan bahwa penyebaran, introgressi, dan interaksi antar kelompok hominin berkontribusi pada keragaman yang tidak terduga ini.
Evolusi Pemikiran dalam Paleoantropologi: Lumper vs. Splitter
Secara historis, paleoantropologi ditandai oleh kecenderungan untuk mengklasifikasikan fosil baru sebagai spesies terpisah. Praktik ini, yang dominan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mencerminkan keterbatasan jumlah fosil yang tersedia dan pemahaman yang belum lengkap tentang variabilitas hominin. Namun, sejak tahun 1950-an, terjadi pergeseran menuju pendekatan “lumping,” di mana fosil-fosil dikelompokkan ke dalam kategori yang lebih luas dan inklusif. Pergeseran ini sebagian dipengaruhi oleh diskusi dalam Simposium Cold Spring Harbor tahun 1950 dan kesadaran bahwa banyak spesies yang diusulkan menunjukkan morfologi yang saling tumpang tindih tanpa ciri pembeda yang jelas.
Di Tiongkok, misalnya, semua fosil Akhir Kuarter yang ditemukan sejak tahun 1920-an secara tradisional dikategorikan ke dalam tiga kelompok: Homo erectus, Homo sapiens arkaik transisi, dan H. sapiens modern. Klasifikasi ini membentuk dasar model “evolusi multiregional,” yang mengusulkan bahwa populasi H. erectus di Asia berevolusi secara in situ menjadi H. sapiens modern melalui kesinambungan regional dan aliran gen. Sebaliknya, model kompetitor “Keluar dari Afrika” atau model penggantian berpendapat tentang satu penyebaran manusia modern dari Afrika, tanpa kontribusi genetik dari populasi hominin sebelumnya.
Penemuan-penemuan terbaru kini mendukung pemahaman yang lebih kompleks, yang menggabungkan elemen dari kedua model. Manusia modern kemungkinan menyebar keluar dari Afrika dalam beberapa gelombang, kawin silang dengan populasi hominin lokal di seluruh Eurasia. Interaksi kompleks ini mengaburkan batas antara spesies yang berbeda dan menekankan peran introgressi dalam membentuk keragaman hominin.
Penemuan Utama dan Takson Hominin Baru di Asia Timur
Dua dekade terakhir telah menyaksikan penemuan-penemuan revolusioner yang secara signifikan mengubah pemahaman kita tentang keragaman hominin Akhir Kuarter di Asia Timur:
- Homo floresiensis (2004): Ditemukan di Pulau Flores, Indonesia, spesies kecil ini, yang dikenal sebagai “Hobbit,” menantang asumsi tentang ukuran tubuh dan ukuran otak dalam evolusi hominin.
- Homo luzonensis (2019): Spesies kecil lainnya, H. luzonensis, diidentifikasi dari fosil di Pulau Luzon, Filipina, yang semakin menyoroti kompleksitas evolusi pulau.
- Homo longi (2021): Fosil Harbin, yang diklasifikasikan sebagai H. longi, menunjukkan kombinasi ciri-ciri arkaik dan turunan. Fosil seperti Dali dan Jinniushan mungkin juga termasuk dalam takson ini, menunggu analisis komparatif lebih lanjut.
- Homo juluensis: Baru-baru ini, fosil dari Xujiayao dan Xuchang dikelompokkan sebagai H. juluensis. Menariknya, spesies ini mungkin juga mencakup Denisovan yang misterius, serta fosil Xiahe dan Penghu, berdasarkan kemiripan gigi dan mandibula. Selain itu, gigi Tam Ngu Hao 2 dari Laos memiliki ciri khas yang mirip dengan spesimen Denisovan dan kemungkinan milik takson ini.
Penemuan gigi Tam Ngu Hao 2 di Laos menjadi signifikan karena menambah bukti keberadaan Denisovan di Asia Tenggara. Fosil tersebut memiliki ciri khas yang mirip dengan fosil Denisovan lain, seperti yang ditemukan di Xiahe, Tibet. Temuan ini menunjukkan distribusi geografis Denisovan yang lebih luas daripada yang sebelumnya diketahui, serta interaksi kompleks dengan populasi hominin lokal lainnya di kawasan ini.
Implikasi Lebih Luas dari Keragaman Hominin
Kompleksitas catatan fosil Asia Timur menantang model evolusi linier, seperti multiregionalisme tradisional, yang mengasumsikan progresi linear dari H. erectus ke H. sapiens modern. Sebaliknya, gambaran yang muncul menunjukkan banyak garis keturunan hominin yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi di Asia Timur selama periode Akhir Kuarter.
Penemuan-penemuan terbaru juga menggarisbawahi ketidaktepatan model evolusi yang terlalu sederhana. Misalnya, fosil dari situs Hualongdong di Tiongkok (~300.000 tahun BP) menunjukkan kombinasi fitur yang tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan ke garis keturunan yang diketahui, seperti H. juluensis, H. longi, H. floresiensis, atau H. luzonensis. Kompleksitas ini mencerminkan sifat evolusi hominin yang rumit, dengan ciri-ciri yang muncul dan menghilang di berbagai populasi seiring waktu.
Prospek Masa Depan Penelitian Hominin
Seiring berkembangnya teknologi analisis DNA purba dan metode morfometrik tiga dimensi, kemungkinan penemuan takson hominin baru semakin meningkat. Area-area seperti Asia Tenggara, Tibet, dan wilayah dataran tinggi Tiongkok masih menyimpan potensi besar bagi penemuan fosil-fosil hominin yang belum teridentifikasi.
Gigi Tam Ngu Hao 2 dan temuan serupa membuka peluang untuk penelitian lebih mendalam tentang interaksi Denisovan dengan hominin lokal serta dampaknya terhadap populasi manusia modern di Asia. Analisis isotop dan DNA purba dari fosil-fosil ini dapat memberikan wawasan tentang migrasi, pola makan, dan adaptasi lingkungan hominin di kawasan tersebut.
Menata Ulang Evolusi Manusia di Asia Timur
Catatan fosil Akhir Kuarter Asia Timur dengan cepat membentuk ulang pemahaman kita tentang evolusi manusia. Penemuan takson hominin baru—Homo floresiensis, H. luzonensis, H. longi, dan H. juluensis—bersama dengan bukti aliran gen dan introgressi, menyoroti kompleksitas interaksi hominin di wilayah ini. Penemuan fosil seperti gigi Tam Ngu Hao 2 menegaskan bahwa Denisovan memiliki distribusi geografis yang luas di Asia, menunjukkan interaksi yang belum sepenuhnya dipahami antara berbagai populasi hominin.
Catatan ini menantang model linier dan memaksa paleoantropolog untuk mengadopsi kerangka kerja yang lebih fleksibel dan dinamis yang memperhitungkan bukti fosil yang semakin berkembang. Asia Timur berdiri sebagai bukti keragaman, adaptabilitas, dan keterhubungan populasi hominin selama periode Akhir Kuarter, yang mendorong kita untuk merevisi dan menyempurnakan model evolusi kita guna mencerminkan kompleksitas dinamis ini.
Integrasi dengan Perspektif Global
Penemuan Homo juluensis di Asia Timur memberikan kontribusi signifikan dalam memahami kompleksitas evolusi manusia, terutama jika dibandingkan dengan catatan fosil dari wilayah lain. Selama periode Kuarter Akhir (~300.000–50.000 tahun BP), Afrika sering dianggap sebagai pusat utama evolusi manusia modern (Homo sapiens), dengan gelombang migrasi yang kemudian menyebar ke Eurasia. Namun, temuan di Asia Timur menantang narasi yang terlalu berfokus pada Afrika dan memperkaya pemahaman kita tentang evolusi regional yang lebih dinamis.
Di Afrika, catatan fosil menunjukkan perkembangan Homo sapiens dengan ciri-ciri morfologi yang semakin kompleks, seperti di Omo Kibish (sekitar 195.000 tahun BP) dan Jebel Irhoud (sekitar 300.000 tahun BP). Fosil-fosil ini mendukung hipotesis “Keluar dari Afrika,” di mana manusia modern menyebar dari Afrika dan menggantikan populasi hominin lokal. Namun, bukti introgressi genetik—seperti kawin silang antara Homo sapiens dan Neanderthal di Eropa atau Denisovan di Asia—menunjukkan bahwa interaksi antarpopulasi lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Di Eurasia, Neanderthal mendominasi catatan fosil di Eropa dan Asia Barat, sedangkan Denisovan, yang pertama kali diidentifikasi dari fosil di Gua Denisova, Siberia, menunjukkan keberadaan yang lebih luas di Asia Tengah dan Asia Timur. Penemuan gigi Tam Ngu Hao 2 di Laos serta kemiripan morfologi Homo juluensis dengan spesimen Denisovan, seperti di Xiahe, Tibet, menunjukkan adanya populasi hominin yang saling berinteraksi dan berbagi ciri-ciri genetis di Asia Timur dan Tenggara.
Dengan demikian, Asia Timur tidak hanya menjadi wilayah transit bagi migrasi manusia modern dari Afrika, tetapi juga sebagai pusat evolusi hominin yang independen dan signifikan. Temuan spesies seperti Homo floresiensis, H. luzonensis, H. longi, dan H. juluensis menggarisbawahi pentingnya kawasan ini dalam memahami keragaman dan adaptasi hominin secara global. Evolusi manusia bukanlah proses linier yang hanya berpusat di satu wilayah, melainkan jaringan kompleks interaksi populasi yang tersebar di seluruh dunia.
Penelitian ini telah diterbitkan di Nature Communications.