BAGIKAN
Dalam lima tahun terakhir, jumlah publikasi akademis dari Indonesia meningkat pesat. Shutterstock

Publikasi akademis adalah cerminan penting dari seberapa kuat suatu komunitas riset di sebuah negara. Komunitas riset yang kuat bisa menjadi pendorong inovasi dalam ekonomi. Riset juga merupakan landasan dari tersedianya bukti-bukti berkualitas untuk menjadi dasar pengambilan keputusan.

Indonesia, kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, mempunyai pengaruh ekonomi dan politik yang kuat di wilayah Asia-Pasifik. Indonesia mempunyai peluang untuk memberi sumbangan penting melalui riset akademis dan penyebaran ilmu pengetahuan yang bersumber dari universitas-universitas di Indonesia.

Dalam lima tahun terakhir, jumlah publikasi akademis dari Indonesia meningkat pesat. Jumlahnya naik sepuluh kali lipat, dengan pertumbuhan rata-rata 15% per tahun, tumbuh dari 538 pada 1996 menjadi 5.499 pada 2014.

Riset ini pada akhirnya dapat membantu Indonesia memproduksi barang ekspor yang lebih berkualitas seperti bahan kimia, barang elektronik, dan pembuatan bahan biomedis. Riset juga bisa mempercepat transisi Indonesia menuju negara berpendapatan menengah.

Seperti yang dikatakan Lord Nicholas Stern:

Kreativitas, gagasan, dan pertanyaan-pertanyaan memang memiliki nilai mereka sendiri, tapi masyarakat dan ekonomi yang berinvestasi lebih banyak pada riset secara umum menunjukkan hasil dan pertumbuhan sumber daya manusia yang lebih pesat.

Masih ketinggalan

Tapi dalam hal menerbitkan publikasi ilmiah Indonesia masih harus mengejar ketinggalan agar bisa mengimbangi negara lain di wilayah Asia dan negara lain yang sama-sama berpenghasilan menengah.

Antara 1996 dan 2008 Indonesia menerbitkan hanya lebih dari 9.000 dokumen ilmiah. Angka itu menunjukkan Indonesia tertinggal lebih dari 13 tahun dari negara berpenghasilan menengah lain seperti Bangladesh dan Kenya.

Indonesia bahkan tertinggal lebih jauh dibandingkan dengan negara tetangga berpenghasilan menengah atas seperti Thailand dan Malaysia atau negara berpenghasilan tinggi seperti Singapura.

Singapura, Afrika Selatan, dan Meksiko masing-masing menghasilkan tiga kali lipat publikasi ilmiah dibandingkan Indonesia.

Rendahnya produksi makalah ilmiah yang dihasilkan oleh lembaga riset Indonesia adalah salah satu gejala lemahnya sektor pengetahuan.

Pada 2014 publikasi akademis dari Indonesia hanya mencakup 0,65% dari seluruh publikasi di wilayah ASEAN. Proporsi dalam jumlah publikasi global lebih kecil lagi: 0,2%. Jika dibandingkan dengan ukuran ekonomi dan populasi Indonesia, ada ketimpangan mendalam antara potensi dari hasil riset dengan kenyataannya.

Indonesia menghasilkan jumlah publikasi akademis terendah per AS$1 miliar PDB (2,2 publikasi per AS$1 miliar PDB), bandingkan dengan negara tetangga ASEAN dan negara mitra di G20. Filipina menghasilkan 2,7 dan Vietnam 7,2 publikasi per AS$1 miliar PDB.

Indonesia juga gagal memaksimalkan potensi kolaborasi internasional selama beberapa tahun terakhir. Kolaborasi internasional membantu ilmuwan mengakses pengetahuan dan kepakaran, dan menerapkannya pada masalah lokal. Mereka juga meningkatkan kemampuan ilmiah domestik melalui pertukaran pengetahuan dan pengalaman.

Hingga 2011, 67% dari publikasi melibatkan kolaborasi penulisan, tapi pada 2014 angkanya turun menjadi 44%. Sebelumnya penulis Indonesia lebih kolaboratif ketimbang penulis dari negara lain yang menghasilkan lebih banyak output.

Potensi Indonesia

Jika Indonesia terus menghasilkan publikasi akademis dengan laju yang sekarang, Indonesia bisa saja menyalip negara ASEAN lain seperti Malaysia. Indonesia mungkin saja menyalip negara mitra G20 seperti Afrika Selatan dan Meksiko, yang menunjukkan laju pertumbuhan lebih rendah.

Artikel akademis Indonesia juga menjadi rujukan bagi riset lain. Peneliti lain mengutip semakin banyak artikel dari ilmuwan Indonesia.

Antara 1996 dan 2011, angka rata-rata pertumbuhan publikasi Indonesia yang dikutip publikasi lain adalah 16%. Ini lebih rendah dari Cina dan Singapura, tetapi lebih tinggi dari Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Tetapi, karena jumlah total publikasi dari Indonesia lebih kecil, maka persentase pertumbuhan ini menghasilkan jumlah absolut yang lebih kecil juga dibanding negara G20 yang berpenghasilan menengah. Masih ada ruang untuk perbaikan.

Peneliti Indonesia telah memperlihatkan kemajuan dalam memproduksi pengetahuan. Tetapi Indonesia harus mengejar ketinggalan untuk mengurangi ketimpangan dengan negara lain.

Untuk melakukannya, Indonesia harus terus membangun budaya riset di universitasnya. Ini artinya mendanai riset dasar dan inovasi.

Organisasi pemerintah harus memesan riset langsung dari universitas-universitas dan lembaga riset untuk mendukung pembuatan kebijakan. Pemerintah juga seharusnya memberi insentif untuk mendorong investasi swasta dan filantropi membiayai riset.

Indonesia telah berhasil membuat awalan penting dalam mendanai riset melalui pembentukan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun lalu. Ini adalah dana riset pertama di Indonesia yang bersifat kompetitif dan ditelaah sejawat.

Perubahan regulasi dan peraturan dibutuhkan untuk memandu pemesanan riset sehingga mereka mendukung kebijakan publik. Juga harus ada perubahan sikap dan ekspektasi dari kalangan pengambil kebijakan.

Di wilayah ini pun ada kemajuan tercatat. Pemerintah sedang mempertimbangkan regulasi pengadaan untuk memberi insentif kepada pembuat kebijakan jika mereka memesan riset dari kampus-kampus dan lembaga riset.

Semua ini mengerucut pada pergeseran budaya yang menghargai riset. Membentuk budaya riset di universitas tidak bisa dilakukan oleh periset saja. Dibutuhkan kepemimpinan dari pemerintah dan para rektor universitas, dan pesan yang jelas bahwa riset dihargai dan digunakan.

Publikasi akademis adalah indikator yang bisa dilihat dari lingkungan riset yang sehat. Sementara budaya riset dibangun dan lingkungan riset bertumbuh publikasi akan bertambah. Maka kita akan melihat Indonesia mengejar — bahkan menyalip — negara-negara lain di wilayah dan menghasilkan bukti-bukti pengetahuan dan riset yang dibutuhkan oleh negara yang ekonominya sedang bertumbuh pesat untuk inovasi.


The ConversationFred Carden adalah penulis pendamping tulisan ini. Ia adalah kepala di Using Evidence Inc dan Penasihat Senior Riset untuk Knowledge Sector Initiative, suatu program bersama antara pemerintah Indonesia dan Australia yang mendukung pemanfaatan riset, analisis, dan fakta yang lebih baik dalam pembuatan kebijakan.

Helen Tilley, Research Fellow, Overseas Development Institute dan Arnaldo Pellini, Research Fellow, Overseas Development Institute