BAGIKAN
Sensor yang dapat mengukur perubahan suhu tubuh, dan bereaksi terhadap sinar matahari dan sentuhan hangat. (Credit: Thor Balkhed)

Terinspirasi oleh perilaku kulit alami, para peneliti telah mengembangkan sensor yang akan cocok untuk digunakan pada kulit elektronik buatan. Selain dapat mengukur perubahan suhu tubuh, juga dapat bereaksi terhadap sinar matahari dan sentuhan hangat.

Para peneliti berupaya mengembangkan kulit elektronik ini terutama untuk kemajuan tiga bidang yang paling terkait, yaitu : robotika, prostesis (anggota tubuh buatan) yang merespon terhadap sentuhan, dan pemantauan kesehatan.

Kulit sintesis juga diharapkan fleksibel dan memiliki beberapa bentuk kepekaan. Para peneliti di Laboratorium Elektronika Organik di Universitas Linköping kini telah mengambil langkah-langkah untuk memenuhi tuntutan sistem semacam itu dengan menggabungkan beberapa fenomena fisik dan material. Hasilnya adalah sensor yang mirip dengan kulit manusia, dapat merasakan variasi suhu yang berasal dari sentuhan benda hangat, serta panas dari radiasi matahari.

Bersama dengan rekan-rekannya, Mina Shiran Chaharsoughi telah mengembangkan sensor yang menggabungkan efek piroelektrik dan termoelektrik dengan fenomena nano-optik.

Pada bahan piroelektrik, tegangan akan muncul saat dipanaskan atau didinginkan. Perubahan suhu yang terjadi memberikan sinyal yang cepat dan kuat, tetapi cepat mereda.

Sebaliknya, pada material termoelektrik, tegangan akan muncul apabila material memiliki satu sisi dingin dan satu sisi lainnya lebih panas. Sinyalnya muncul secara perlahan, dan beberapa waktu harus berlalu sebelum dapat diukur. Panas bisa ditimbulkan dari sentuhan hangat atau dari sinar matahari; yang diperlukan hanyalah satu sisi yang lebih dingin dari yang lainnya.

Dengan menggabungkan dua karakter dari material polimer piroelektrik dengan gel termoelektrik, diperoleh sinyal yang cepat dan kuat namun bertahan selama ada stimulus. Pada kenyataannya kedua bahan saling berinteraksi dengan cara memperkuat sinyal.

Sensor baru ini juga menggunakan salah satu bahan dari sejenis nano-optik yang dikenal sebagai plasmon.

“Plasmon muncul ketika cahaya berinteraksi dengan partikel nano logam seperti emas dan perak. Cahaya datang menyebabkan elektron-elektron dalam partikel berosilasi bersamaan, sehingga membentuk plasmon. Fenomena ini memberikan struktur nano dengan sifat optik yang luar biasa, seperti hamburan dan penyerapan yang tinggi ”,  kata Magnus Jonsson, pemimpin kelompok Photonics Organik dan kelompok Nano-optik.

Dalam pekerjaan sebelumnya, ia dan rekan kerjanya telah menunjukkan bahwa elektroda emas yang telah dilubangi dengan nano-hole dapat menyerap cahaya secara efisien dengan bantuan plasmon. Cahaya yang diserap kemudian dikonversi menjadi panas. Dengan elektroda ini, film emas tipis dengan nano-hole, di sisi yang menghadap matahari, sensor juga dapat mengubah cahaya tampak dengan cepat menjadi sinyal yang stabil. Selain itu, sensor ini juga peka terhadap tekanan.

“Sinyal muncul ketika kita menekan sensor dengan jari, tetapi tidak akan muncul ketika menekannya dengan tekanan yang sama dengan menggunakan selembar plastik. Bereaksi terhadap panas tangan,” kata Magnus Jonsson.

Penelitian ini, diterbitkan dalam jurnal ilmiah Advanced Functional Materials.