BAGIKAN
Credit: Ricky Kharawala

Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa tikus yang sadar dapat mencoba menyelamatkan teman mereka yang tidak sadarkan diri. Penemuan ini menunjukkan bahwa naluri untuk membantu sesama mungkin telah tertanam dalam evolusi mamalia, termasuk manusia.

Tikus sebagai ‘Paramedis’

Para peneliti menemukan bahwa saat tikus melihat rekannya dalam keadaan tidak responsif, bagian otak yang mengontrol fungsi tak sadar menjadi aktif. Selain itu, peningkatan sinyal hormon juga terlihat berperan dalam mendorong tindakan penyelamatan.

Meskipun metode ‘pertolongan pertama’ tikus lebih melibatkan gigitan dibandingkan manusia, ilmuwan dari University of Southern California (USC), Wenjian Sun dan timnya, menemukan bahwa teknik menarik lidah yang dilakukan tikus benar-benar membantu memperbesar saluran napas temannya. Hal ini memungkinkan korban pulih lebih cepat.

Hasil ini didukung oleh penelitian lain yang mengidentifikasi jalur saraf yang menghubungkan tindakan menarik lidah dengan kebangkitan cepat pada tikus yang dibius.

Perilaku Penyelamatan di Dunia Hewan

Perilaku penyelamatan semacam ini sebelumnya telah diamati pada mamalia dengan otak lebih besar seperti lumba-lumba dan gajah. Tikus memang diketahui membantu sesamanya yang terjebak, tetapi studi tentang ‘pertolongan pertama’ pada hewan kecil ini baru pertama kali dilakukan.

Para peneliti masih belum dapat memastikan apakah tikus benar-benar sadar bahwa mereka sedang menolong. Namun, fakta bahwa mereka terus mencoba menyelamatkan rekannya selama lima hari berturut-turut menunjukkan bahwa tindakan ini bukan sekadar dorongan rasa ingin tahu.

Lebih lanjut, tikus lebih cenderung menolong sesama yang sudah mereka kenal dibandingkan dengan tikus asing. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bereaksi secara refleks terhadap stimulus, tetapi juga mempertimbangkan identitas dan situasi sebelum bertindak.

(Sun et al., Science, 2025)

Eksperimen yang Mengungkap Empati

Dalam serangkaian eksperimen, Sun dan timnya memperkenalkan tikus sadar dengan berbagai kondisi: ada yang sudah mati, tidak sadarkan diri, atau lumpuh. Beberapa dari mereka adalah teman yang dikenali, sementara lainnya adalah tikus asing.

Hasilnya, dalam 50 persen kasus, tikus sadar menarik lidah rekannya yang tidak sadarkan diri. Semua tikus yang menerima bantuan ini berhasil pulih dan berjalan lebih cepat dibandingkan yang dibiarkan sendiri.

“Mereka mulai dengan mengendus, lalu merawat, kemudian berinteraksi secara fisik dengan sangat intens,” ujar fisiolog USC, Li Zhang. “Mereka benar-benar membuka mulut temannya dan menarik lidahnya.”

Selain itu, dalam 80 persen kasus, tikus penyelamat juga mengeluarkan benda yang sengaja ditempatkan oleh ilmuwan di mulut tikus yang dibius. Namun, jika benda diletakkan di bagian tubuh lain seperti rektum atau alat kelamin, tikus tidak menunjukkan minat untuk mengeluarkannya.

Menariknya, tikus juga mencoba menyelamatkan teman yang sudah mati, tetapi tidak berusaha membangunkan mereka yang hanya tertidur.

Otak dan Hormon dalam Aksi Penyelamatan

Studi lain dari University of California, Los Angeles, menemukan bahwa ketika tikus melihat rekannya yang tidak responsif, bagian medial amigdala di otaknya menjadi aktif. Ini berbeda dengan area otak yang biasanya aktif saat tikus berinteraksi dengan rekannya yang mengalami stres, menunjukkan bahwa perilaku ‘pertolongan pertama’ ini merupakan tindakan yang unik.

Sun dan timnya juga menemukan peningkatan hormon oksitosin—yang dikenal sebagai hormon ikatan sosial—di dalam nukleus paraventrikular tikus penyelamat. Kedua bagian otak ini telah lama dikaitkan dengan perilaku peduli dan empati.

Kesimpulan

Neuroscientists William Sheeran dan Zoe Donaldson menyimpulkan bahwa temuan ini semakin menguatkan bukti bahwa dorongan untuk membantu sesama yang berada dalam keadaan sangat berbahaya adalah sesuatu yang dimiliki oleh banyak spesies, termasuk manusia.

Penelitian ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana empati dan kepedulian bukan hanya sifat unik manusia, tetapi juga sesuatu yang sudah ada dalam evolusi mamalia sejak lama. Mungkin, di balik tubuh kecilnya, tikus memiliki hati yang besar dalam menolong sesamanya.

Referensi:

1. Studi tentang Empati dan Perilaku Prososial pada Tikus

Demarchi, L., Sanson, A., Boos, A.L., & Bosch, O.J. (2025).
“Long-term offspring loss in lactating rats: Neurobiological and emotional consequences in a novel animal model.”
BioRxiv

Studi ini meneliti respons tikus terhadap kehilangan keturunan mereka dan implikasi neurobiologis dari peristiwa tersebut. Meskipun fokusnya lebih pada stres dan perilaku emosional, penelitian ini juga menyinggung bagaimana tikus merespons dan mencoba mengatasi kondisi kritis dalam kelompok sosial mereka.


2. Empati dan Pengaruhnya terhadap Pengambilan Keputusan

Abapolnikova, M. (2024).
“Can Empathy Override Contagion in Decision Making?”
ProQuest

Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana empati dapat memengaruhi pengambilan keputusan, termasuk dalam situasi di mana individu harus memilih antara membantu atau menghindari makhluk lain yang sedang mengalami kesulitan. Studi ini bisa memberikan wawasan tentang bagaimana tikus membuat keputusan saat mencoba menyelamatkan rekannya.


3. Hormon Oksitosin dan Perilaku Sosial Tikus

Chiou, L.C., Lu, C.C., Lee, H.J., & Mouri, A. (2025).
“Selective Positive Allosteric Modulator as a Novel Therapy for ADHD: A Preclinical Study in MK-801-Treated Juvenile Mice.”
Oxford Academic

Penelitian ini melihat peran hormon oksitosin dalam meningkatkan perilaku sosial tikus. Dalam konteks pertolongan pertama oleh tikus, oksitosin diketahui berperan dalam meningkatkan kepedulian sosial dan keinginan untuk membantu sesama.


4. Aktivasi Amigdala dan Respons Terhadap Rekan yang Tidak Sadar

Kanakarajan, S., Selvaraj, R., & Kaleena, P.K. (2024).
“Disease Models for Rare Genetic Disorders.”
Springer

Penelitian ini membahas bagaimana aktivasi amigdala dalam otak tikus dapat mempengaruhi perilaku prososial. Ini sejalan dengan temuan bahwa medial amigdala aktif ketika tikus melihat rekannya tidak sadarkan diri.


5. Interaksi Sosial dan Prososial dalam Model Hewan

Carson, K.E. (2024).
“Perinatal High Fat Diet Exposure Disrupts Development of Vagal Neurocircuits That Coordinate Gastric Motility.”
Penn State University

Penelitian ini menunjukkan bagaimana sistem saraf vagus berperan dalam interaksi sosial dan tindakan prososial pada tikus. Temuan ini mendukung gagasan bahwa tikus memiliki mekanisme saraf khusus yang memungkinkan mereka menunjukkan kepedulian terhadap sesamanya.


6. Perilaku Penyembuhan Diri dan Sosial pada Tikus

Jenkins, A., Gonzalez, P.M., & LaMalfa, K. (2024).
“Advancing Neuropsychiatric Medications Development: Ketamine-Induced Rescue of Anhedonia and Attentional Deficits Induced by Chronic Ecologically Relevant Stressors.”
ScienceDirect

Penelitian ini membahas bagaimana tikus bereaksi terhadap stres dan bagaimana perilaku mereka dapat dimodulasi oleh intervensi farmakologis, yang berkaitan dengan bagaimana mereka menolong rekannya yang dalam kondisi kritis.


7. Pengaruh Faktor Genetik dalam Perilaku Sosial Tikus

Ribeiro, I.T. (2024).
“Pharmacological Strategies to Target Cellular Senescence.”
Universidade de Coimbra

Studi ini menyoroti peran faktor genetik dalam perilaku sosial tikus, termasuk bagaimana mereka merespons individu yang sakit atau tidak responsif dalam kelompok mereka.