Sampai saat ini, virus dianggap sebagai agen infeksius yang berukuran sangat kecil, lebih kecil dibandingkan dengan bakteri dan bahkan sel manusia.
Namun, tidak selamanya demikian.
Saat seorang ahli biologi Jeff Blanchard dari University of Massachusetts Amherst bersama dengan timnya mengisolasi bakteri dari tanah yang terpapar panas di sebuah area penelitian ekologi Harvard Forest, Massachusetts, menemukan kejutan sejenis virus yang ukurannya mencapai hingga ratusan kali lebih besar dari virus lainnya.
Secara tidak sengaja mereka menemukan 16 virus raksasa baru, yang merupakan “kejutan luar biasa dan sains terbaru yang sangat menarik,” menurut Blanchard dalam sebuah pernyataan.
“Tujuan kami adalah mengisolasi bakteri yang langsung diambil dari lingkungan untuk memahami bagaimana komunitas mikroba berubah sebagai respon terhadap pemanasan tanah.”
Menurut mereka, ditemukannya virus raksasa di dalam tanah sangat menarik, karena sebagian besar virus raksasa yang dijelaskan sebelumnya ditemukan di habitat perairan. Seperti Tupanvirus danau alkali dan Tupanvirus lautan dalam, keduanya dinamai sehubungan dengan habitat perairan ekstrim di mana mereka ditemukan.
Blanchard menambahkan, “Penelitian kami biasanya berfokus pada efek pemanasan tanah, tetapi pendekatan metagenomika [seluruh DNA dari suatu ekosistem secara lengkap] baru ini telah menemukan sejumlah keanekaragaman hayati virus dan bakteri dalam kelompok spesies yang biasanya tidak kita kaitkan dengan tanah. Ada sejumlah misteri yang akan kami tindak lanjuti.” Jadi, dari sini para peneliti dapat mengidentifikasi virus dan mengkategorikannya sebagai virus raksasa terutama dari ukuran genomnya yang lebih besar dari virus lainnya.
Para ilmuwan mengusulkan nama untuk spesies baru ini yang dapat mencerminkan asal hutan mereka : “Harvovirus”, untuk menghormati hutan Harvard.
Penemuan ini terkait dengan eksperimen pemanasan tanah selama bertahun tahun pada sebuah hutan untuk kegiatan penelitian, di mana kabel pemanas seteara dengan yang digunakan untuk memanaskan lapangan sepak bola dari cuaca dingin, ditanam sedalam 10 cm di beberapa titik. Kabel tersebut menjaga suhu permukaan tanah lebih hangat 5 derajat Celcius daripada suhu lingkungan, menciptakan sebuah laboratorium alam dari perubahan iklim buatan, kata Blanchard.
Dalam sebagian besar penelitian virus raksasa, katanya, para peneliti menanamkan protista atau inang amuba yang menarik virus yang biasanya menginfeksinya.
“Mereka sulit untuk diajak bekerja sama, dan hanya virus yang tumbuh pada inangnya yang akan dibudidayakan,” ia mencatat. “Ada jutaan spesies inang potensial dan tidak mungkin menggunakan pendekatan ini dengan mereka semua.” Sebaliknya, mengisolasi sel langsung dari lingkungan dan menggunakan metode metagenomika-mini menghasilkan data genom dengan biaya yang lebih rendah, katanya.
Ahli mikrobiologi UMass Amherst menambahkan, “Kami tidak hanya menemukan banyak virus raksasa baru, tetapi kami melakukannya dengan menggunakan tanah yang sangat cepat. Akan lebih baik untuk mengkarakterisasi virus ini satu per satu, ada banyak keterampilan dan seni dalam hal itu. Tapi itu akan menjadi proyek bertahun-tahun. Menemukan 16 sekaligus terasa luar biasa, dan tidak ada yang sama. Jika Anda memikirkan semua tanah di dunia, jika ada 10.000 spesies bakteri dalam satu gram tanah, sekitar satu sendok teh, bayangkan berapa banyak virus raksasa baru di luar sana.”
Selain virus baru yang bisa ditemukan di daratan dan perairan, beberapa virus raksasa purba masih tertidur di lapisan es. Seperti Mollivirus sibericum yang ditemukan di permafrost Siberia, usianya bisa mencapai 30.000 tahun.
Sayangnya, pemanasan global menyebabkan permafrost Siberia mencair (daerah Arktik dan sub-Arktik memanas dua kali lebih cepat daripada bagian dunia lainnya). Akibatnya, lebih banyak virus purba, yang tampaknya umum di dalam permafrost dapat dibebaskan dari keadaan beku mereka.