BAGIKAN
Public Domain / archive.org.

Saat Perang Dunia I masih berkecamuk, anak-anak di California turut berperang melawan serdadu tupai. Peristiwa ini dikenal sebagai Squirrel Week, yang terjadi pada bulan April 1918 dan telah menewaskan 104.509 ekor tupai tanah. Suatu perlawanan yang tidak sepadan pastinya.

Gagasan pembunuhan massal ini diawali karena tupai tanah yang semakin melimpah populasinya telah menjadi hama bagi hasil pertanian. Selain itu, hewan pengerat ini juga dianggap dapat menyebarkan penyakit pes. Para petani dan peternak telah lama berjuang untuk memusnahkan makhluk tersebut. Diperkirakan, pemerintah setempat menderita kerugian sebesar 30 juta dolar untuk setiap tahunnya saat itu.

Hingga tiba saatnya bagi pemerintah negara bagian membujuk anak-anak sekolah agar mau turut serta. Mengajak mereka untuk memusnahkan tupai tanah sebanyak mungkin dengan cara apa pun, selama seminggu. Demi memuluskan rencananya ini, negara rela menyisihkan dana senilai $ 40.000. Yang digunakan untuk meluncurkan berbagai kampanye propaganda, melawan tupai. Mereka mencetak 34.000 poster dan mendistribusikan 500.000 buah selebaran.

Komisaris holtikultura negara bagian George H. Hecke, berpidato di hadapan “Prajurit Sekolah” dengan penuh semangat. Dan mengajak mereka untuk menghancurkan musuhnya: “pasukan tupai”. Pada akhirnya propaganda ini telah memicu persaingan di antara sekolah. Untuk menunjukan siapa yang paling banyak bisa membunuh tupai.

Kampanye itu disajikan karena kerusakan yang dilakukan tupai terhadap tanaman. Isi dari selebaran-selebaran tersebut berbunyi: “bunuh tupai!”, “jutaan makanan harus diselamatkan”. “Bunuh induk tupai selama musim kawin – Maret hingga Mei. Seekor tupai pada akhirnya bisa menghemat sembilan pembunuhan”.

Pamflet lain menggambarkan seorang wanita sedang memegang ember yang bertuliskan “jelai beracun”. Sambil tersenyum ia berkata, “Anak-anak, kita harus membunuh tupai untuk menyelamatkan makanan. Tapi gunakan racunnya dengan hati-hati.”

 Public Domain / archive.org.
Public Domain / archive.org.

Untuk meningkatkan motivasi, pemerintah menyediakan hadiah uang sebesar $ 50 ($ 800 hari ini) untuk masing-masing sekolah dasar dan menengah, yang muridnya paling banyak membunuh tupai.

Kampanye tersebut juga meminta bantuan suatu pasukan khusus yang dikenal dengan “Four Minute Men”. Yaitu, para sukarelawan yang memberikan pidato singkat di mana pun mereka bisa mendapatkan perhatian publik. Mereka mengajak para petani dan peternak untuk turut berperang melawan “pasukan tupai”.

 Public Domain / archive.org.
Public Domain / archive.org.

Saat kampanye usai, pembunuhan massal dalam pekan tupaipun segera dimulai. Sebagai bukti telah menewaskan tupai, anak-anak diminta untuk membawa ekornya langsung ke kantor komisi holtikultura. Dapat dibayangkan penumpukkannya dapat mengeluarkan aroma busuk yang menyengat.

“Semua alat pembunuh perang modern akan digunakan dalam upaya untuk memusnahkan pasukan tupai termasuk jelai beracun dan agen perusak lainnya,” demikian bunyi laporan berita pada saat itu .

“Sejumlah besar persediaan ini sedang dilarikan ke garis depan di mana pertempuran akan menjadi yang paling sengit. Pertempuran akan semakin intensif seiring berlalunya hari dan akan mencapai puncaknya selama “pekan tupai” negara bagian yang akan diumumkan oleh gubernur mulai 29 April hingga 4 Mei”

Komisioner mengucapkan selamat kepada anak-anak di koran lokal atas “pelayanan patriotik” mereka dan mendorong mereka untuk melakukannya di waktu senggang. Namun, meskipun pekan tupai atau Squirrel Week telah berakhir, pembunuhan tetap berlanjut di beberapa tempat tanpa henti. Dan seorang anak perempuan penuh kengerian menghadirkan 3.780 ekor tupai mati.