BAGIKAN
(Unsplash)

Tidak semua lalat dan ngengat mampu terbang seperti pada umumnya. Beberapa serangga yang hidup di pulau-pulau berangin kencang, berevolusi untuk tidak dapat terbang dan meniadakan sayap mereka. Gagasan ini, awalnya dikemukakan oleh Charles Darwin, meskipun ditentang ilmuwan lainnya. Sekarang, para ilmuwan telah mendukung serta memperkuat apa yang telah dihipotesiskan oleh Darwin 160 tahun yang lalu itu.

Untuk dapat terbang di daerah berangin kencang seperti di pulau-pulau Sub Antartika, diperlukan energi yang cukup besar bagi serangga. Oleh karena itu, banyak serangga yang mencoba terbang namun akhirnya mengalami kematian karena terhempas ke lautan.

Di pulau-pulau kecil yang terletak di tengah-tengah antara Antartika dan benua seperti Australia, hampir semua serangga pernah memiliki kemampuan untuk terbang. Bagi serangga yang tidak bisa terbang memperoleh manfaat karena dapat lebih memfokuskan energinya untuk bereproduksi.

Mengapa seleksi alam berulang kali mendukung hilangnya suatu struktur yang umumnya dikaitkan dengan inovasi evolusioner kunci yang mengarah pada keberhasilan kelompok. Pertanyaan ini telah menggelitik para ahli sistematika serangga sejak Darwin.

Sebelumnya, para ilmuwan telah berusaha untuk menjawab pertanyaan ini melalui dua pendekatan. Yaitu, analisis proses dan analisis pola. Analisis proses telah memasukkan investigasi ke dalam kontrol genetik, hormonal, dan lingkungan dari spesies yang berbeda tidak dapat terbang. Penyelidikan ke dalam proses ini telah memberikan wawasan tentang bagaimana kondisi sayap diwariskan, bagaimana perkembangannya dikontrol secara hormonal, dan apa pengaruh faktor lingkungan biotik dan abiotik selama perkembangan. Analisis pola mencakup analisis historis / filogenetik serta analisis tidak dapat terbang yang berkorelasi dengan lintang, ketinggian, isolasi, stabilitas habitat, dan gaya hidup.

Hipotesis yang paling diterima secara luas tentang hilangnya kemampuan terbang pada serangga telah difokuskan pada hilangnya sayap akibat peningkatan kebugaran bagi serangga sendiri. Misalnya, betina tak bersayap secara teoritis dapat mengalihkan lebih banyak energinya untuk membuat telur daripada membuat sayap dan otot terbang.

Sekarang, dalam studi terbarunya, Rachel Leihy dan Steven Chown dari Monash University School of Biological Sciences Australia, menganalisis data-data tentang serangga yang telah dimusnahkan oleh apa yang disebut dengan roaring forties dan furious fifties. Yaitu, angin barat yang sangat kuat yang bertiup di Belahan Bumi Selatan antara garis lintang 40 ° dan 50 °. Ini adalah angin kencang yang mengoyak lautan dan pulau-pulau antara Antartika dan Australia. Di pulau-pulau ini, banyak lalat dan ngengat yang hampir tidak memiliki sayap. Daripada terbang, mereka mungkin hanya cukup untuk merayap dalam pergerakannya.

Darwin berargumen sekitar 160 tahun yang lalu bahwa seleksi alam mendukung serangga yang tidak dapat terbang di pulau-pulau berangin, karena mereka cenderung tidak akan terhempas angin hingga ke laut. Karena kondisi angin ekstrim, membuat penerbangan serangga lebih memerlukan banyak energi. Jadi, serangga berhenti melakukan penerbangan, tim peneliti menyimpulkan.

Pada akhirnya, serangga-serangga ini berhenti memproduksi sayap dan otot sayap sama sekali. Memungkinkan mereka mengalihkan sumber daya berharga mereka untuk kawin dan memperbanyak keturunan.

“Tentu saja, Charles Darwin tahu tentang kebiasaan kehilangan sayap dari serangga-seranga di pulau ini. Dia dan seorang ahli botani terkenal Joseph Hooker memiliki argumen substansial tentang mengapa ini terjadi,” jelas Leihy. “Posisi Darwin tampak sederhana. Jika Anda terbang, Anda akan terhempas ke laut.”

Tetapi sejak Hooker mengungkapkan keraguannya, banyak ilmuwan lain yang turut mengamininya. Singkatnya, mereka mengatakan bahwa Darwin salah. Namun hampir semua diskusinya, mengabaikan tempat di mana merupakan cikal bakal serta jejak hilangnya penerbangan. Yaitu pulau-pulau ‘sub-Antartika’ itu sendiri.

“Jika Darwin memang salah, maka angin sama sekali tidak akan menjelaskan mengapa begitu banyak serangga kehilangan kemampuannya untuk terbang di pulau-pulau ini,” kata Rachel.

Menggunakan kumpulan data-data terbaru yang besar tentang serangga dari pulau-pulau sub-Antartika dan Arktik, para peneliti memeriksa setiap ide yang diajukan untuk menjelaskan hilangnya kemampuan terbang pada serangga, termasuk gagasan angin dari Darwin.

Mereka menunjukkan bahwa Darwin tepat untuk ‘tempat paling berangin’ ini. Tak satu pun dari gagasan yang biasa (seperti yang dikemukakan oleh Hooker) menjelaskan sejauh mana hilangnya penerbangan pada serangga sub-Antartika, tetapi gagasan Darwin dapat menjelaskan. Kondisi berangin membuat penerbangan serangga lebih sulit dan menghabiskan banyak tenaga.

“Sungguh luar biasa bahwa setelah 160 tahun, ide-ide Darwin terus membawa wawasan tentang ekologi,” kata Rachel, penulis utama penelitian tersebut, yang telah diterbitkan di Proceedings of the Royal Society B.