BAGIKAN
(Andreas Gäbler/Unsplash) 

Titik tertinggi di dunia menjadi sedikit lebih tinggi dari sebelumnya setelah China dan Nepal menyepakati ketinggian paling akurat dari gunung Everest setelah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun.

Dilansir dari AFP, mereka menyepakati ketinggian 8.848,86-meter (29.031 kaki), yang diungkap dalam sebuah konferensi pers di Kathmandu. Hasil ini 86 centimeter (2,8 kaki) lebih tinggi dari hasil pengukuran negara Nepal, dan lebih tinggi empat meter dari hasil pengukuran resmi negara China.

Perbedaan ini terjadi karena China melakukan pengukuran ketinggian hingga puncak bebatuan gunung dan tidak menyertakan ketinggian salju dan es yang menutupi puncak gunung tersebut.

Dengan menggunakan metode trigonometri, berjarak ratusan mil pada daratan India, ahli geografi dari pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1856 melakukan pengukuran ketinggian Gunung Everest, dan saat itu ditetapkan ketinggian gunung tersebut adalah 8.846 meter di atas permukaan laut.

Setelah Edmund Hillary dan Tenzing Norgay Sherpa untuk pertama kalinya mencapai puncak Everest pada tanggal 29 Mei 1953, hasil survey di India mengoreksi ketinggiannya menjadi 8.848 meter.

Hasil pengukuran tersebut diterima secara luas, dan angka tersebut tidak hanya menginspirasi para pendaki gunung ambisius, tetapi juga menjadi insipirasi berbagai lini pakaian, restoran dan bahkan merk vodka.

Pada tahun 1999, US National Geographic Society menetapkan puncak Everest sebagai titik tertinggi di dunia pada ketinggian 8.850 meter (29.035 kaki). Tetapi, Nepal tidak pernah mengakuinya secara resmi -walaupun dikutip secara luas. 

Sementara itu, China juga melakukan survey tersendiri, dan pada tahun 2005 mereka mengumumkan bahwa puncak Everest berada pada ketinggian 8.848,43 meter.

Dan hasil ini memicu perselisihan dengan negara Nepal, dan baru terselesaikan pada tahun 2010 ketika Kathmandu dan China menyepakati bahwa hasil pengukuran mereka mengacu pada hal-hal yang berbeda – satu berdasarkan ketinggian bebatuan pada puncak Everest dan lainnya berdasarkan ketinggian lapisan salju.

Nepal memutuskan untuk melakukan survey tersendiri – yang kemudian dilakukan bersama dengan China – setelah mempertimbangkan pergerakan dari lempeng tektonik akibat gempa bumi pada tahun 2015 yang kemungkinan akan merubah ketinggian gunung.

Survey ini melibatkan sekitar 300 orang pakar dan surveyor Nepal – yang melakukan survey dengan berjalan kaki ataupun dengan helikopter- untuk mengumpulkan data.

Dan pada musim semi lalu, surveyor Nepal berhasil mencapai puncak Everest dengan membawa lebih dari 40-kilogram peralatan, termasuk sebuah alat penerima sistem navigasi satelit (Global Satellite Navigation System – GNSS).

Mereka menghabiskan sekitar dua jam dalam suhu yang sangat dingin di puncak Everest, untuk mengumpulkan data bersamaan dengan lusinan pendaki gunung yang juga telah mencapai puncak gunung tersebut.

“Mendaki Everest adalah sebuah tantangan tersendiri, tetapi kami harus melakukan pengukuran ini,” kata Kim Lal Gautam, pejabat departemen survey Nepal yang telah kehilangan satu jari kakinya akibat frostbite (radang dingin) pada ekspedisi tersebut.

Nepal berencana untuk mengumumkan hasil pengukuran mereka tahun ini, tetapi kemudian China ikut bergabung dalam survei tersebut setelah kunjungan presiden xi Jinping ke Nepal pada bulan Oktober 2019.

Dan ekspedisi survey tahun ini yang dilakukan China terasa lebih lengang dari sebelumnya dimana hanya mereka yang diizinkan mendaki, pendakian Everest resmi ditutup karena pandemi virus corona.

Dang Yamin, seorang ahli dari Biro Survey dan Pemetaan Nasional China, mengatakan pada stasiun televisi resmi pemerintah China, CCTV, bahwa nilai akhir dari pengukuran adalah rata-rata pengukuran yang dilakukan Nepal dan China, sesuai dengan aturan ilmiah.

“Berbagai negara juga telah melakukan pengukuran ketinggian Everest…hingga beberapa kali,” kata Padma Kumari, menteri pertanian Nepal kepada AFP.

“Hasilnya selalu berbeda setiap kali dilakukan pengukuran, dan hari ini kami mengakhiri semua spekulasi tersebut.”