BAGIKAN
Credit: NASA Goddard Space Flight Center

Untuk bisa memprediksi masa depan, tidak ada salahnya untuk melihat kembali ke masa lalu.

Pemikiran ini benar adanya ketika berkenaan dengan masalah perubahan iklim, bagaimana kondisi planet kita jutaan tahun yang lalu bisa membuka wawasan tentang apa yang akan terjadi ketika pemanasan global terus berlanjut.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Science Advances, para peneliti untuk pertama kalinya mensimulasikan iklim pada era Eosen, sebuah era sekitar 50 juta tahun yang lalu. Pada masa itu, dunia bersuhu lebih hangat 25 derajat celcius dari suhu saat ini.


Hasil simulasi dari model ini, yang didukung oleh bukti-bukti geologis, menunjukkan bahwa ketika konsentrasi karbondioksida di atmosfer bumi meningkat, akan memberikan dampak yang lebih besar pada iklim dari yang semestinya. Dan ini bukanlah pertanda yang baik bagi masa depan iklim bumi kita.

Mensimulasikan suatu kondisi bumi kita di masa lalu sangat mungkin untuk dijadikan model perubahan iklim bumi – di mana para ilmuwan telah menggunakannya untuk memprediksi perubahan iklim di masa depan — yang lebih akurat.

“Kami terus menggunakan model-model perubahan iklim ini untuk memproyeksikan apa yang akan terjadi (iklim) di masa depan. Dan kami bisa tahu, bahwa kondisinya akan sangat berbeda dari yang pernah kita amati dan alami.” Kata Jiang Zhu, penulis utama dari penelitian ini, seperti yang dilansir oleh insider.

Zhu mengatakan, pada era Eosen, lapisan atmosfer Bumi memiliki tingkat konsentrasi karbondioksida dua kali lipat lebih besar dari masa sekarang ini. Tetapi, hingga kini, model-model iklim tersebut belum bisa mensimulasikannya secara akurat.

Kemudian, Zhu dan rekan rekan penulis memilih untuk menggunakan sebuah model yang digunakan oleh the International Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya di tahun 2014 (laporan terbaru dari organisasi ini).



Perhitungan-perhitungan dari model ini ternyata sangat sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh para peneliti, berdasarkan bukti-bukti geologis yang ada: bahwa bumi pada era Eosen memiliki temperatur yang hangat secara global, dan hanya ada sedikit perbedaan temperatur antara bagian kutub dan khatulistiwa. Masa itu dimulai dengan kenaikan suhu antara 5 hingga 9 derajat celcius.

Sebelum era Eosen dimulai, tinggi permukaan laut diperkirakan 40 hingga 1000 meter lebih tinggi dari keadaan sekarang.

Dan tinggi permukaan air laut terus bertambah hingga jutaan tahun karena mencairnya es di kutub. Pada daerah lingkar arktik di masa itu, hidup berbagai jenis buaya, hiu harimau pasir dan juga pohon-pohon palem.



Jika kita tidak membatasi emisi gas rumah kaca hingga akhir abad ini, diprediksikan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer bumi akan mencapai 1.000 ppm; jumlah konsentrasi yang sama seperti pada era Eosen.

Saat ini konsentrasi CO2 di atmosfer bumi adalah 415 ppm – level tertinggi dalam sejarah umat manusia.

Menurut para ilmuwan, era Eosen bukan satu-satunya era dalam sejarah bumi yang penting dipelajari untuk mengantisipasi perubahan iklim dimasa depan. Sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun lalu, menyebutkan bahwa iklim yang mirip pada era Pliosen akan terjadi pada tahun 2030.

Zhu mengatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa dengan menggunakan data-data geologis dan simulasi dari model-model iklim, kita bisa tahu gambaran kondisi bumi pada masa lalu dan masa yang akan datang.