Dibandingkan dengan versi modern, pelindung kepala serdadu Perang Dunia I lebih baik dalam melindungi otak dari gelombang kejut yang dihasilkan oleh ledakan di sekitarnya, menurut penelitian para ilmuwan dari Duke University yang hasilnya diterbitkan di jurnal PLOS ONE.
Salah satu model helm yang digunakan selama peperangan – Adrian buatan Prancis – sebenarnya tampil lebih baik daripada desain modern dalam melindungi dari ledakan di atas kepala.
Penelitian ini dapat membantu dalam meningkatkan kualitas perlindungan terhadap ledakan pada helm masa depan melalui pemilihan material yang berbeda. Menggunakan berbagai material sebagai pelapis dengan impedansi akustik yang berbeda, atau mengubah geometrinya.
“Sementara kami menemukan bahwa semua helm memberikan sejumlah besar perlindungan terhadap ledakan, kami terkejut menemukan bahwa helm yang berusia 100 tahun tersebut memiliki kinerja yang sama baiknya dengan yang modern,” kata Joost Op ‘t Eynde penulis pertama penelitian dari Duke University. “Memang, beberapa helm sejarah tampil lebih baik dalam beberapa hal.”
Para peneliti baru-baru ini mulai mempelajari kerusakan otak yang dapat disebabkan oleh gelombang kejut. Helm yang pada awalnya dirancang untuk melindungi kepala dari berbagai benda yang bisa menembus seperti peluru dan pecahannya, juga gelombang ledakan yang mematikan melalui trauma paru, bahkan jauh sebelum menyebabkan kerusakan pada otak kecil.
Helm Adrian infanteri Prancis (Wikimedia)
Namun, dengan munculnya pelindung tubuh, paru-paru prajurit jauh lebih terlindung dari ledakan seperti sebelumnya. Ini telah menyebabkan insiden trauma paru akibat ledakan, menurun jauh di bawah cedera otak atau tulang belakang dalam konflik militer modern, meskipun ada perbedaan dalam toleransi ledakan.
Sementara ada penelitian yang menunjukkan bahwa helm modern memberikan tingkat perlindungan dari gelombang kejut, tidak ada helm yang saat ini digunakan secara khusus dirancang untuk perlindungan dari ledakan. Dan karena tentara saat ini mengalami gelombang kejut saat mengenakan pelindung tubuh tidak jauh berbeda dengan prajurit 100 tahun yang lalu yang mengalami gelombang kejut saat berada di parit, Op ‘t Eynde memutuskan untuk menelaah apakah desain lama tersebut menawarkan sesuatu yang bisa dioelajari.
“Studi ini, sejauh pengetahuan kami, adalah yang pertama menilai kemampuan helm pelindung tempur bersejarah ini terhadap ledakan,” kata Op Etde Eynde.
Para peneliti menciptakan suatu sistem untuk menguji kinerja helm Perang Dunia I dari Inggris / Amerika Serikat (Brodie), Prancis (Adrian), Jerman (Stahlhelm) dan varian tempur Amerika Serikat saat ini (Advanced Combat Helmet).
Seacara bergantian para peneliti mengenakan helm yang berbeda-beda pada kepala sebuah boneka yang dilengkapi dengan sensor tekanan di berbagai lokasi. Mereka kemudian menempatkan kepala langsung berada di bawah tabung kejut, yang diberi tekanan dengan helium sampai dinding membrannya pecah, melepaskan gas sebagai sebuah gelombang kejut. Helm-helm itu diuji dengan gelombang kejut yang kekuatannya berbeda-beda, masing-masing sesuai dengan jenis peluru artileri Jerman yang meledak pada jarak satu hingga lima meter.
Jumlah tekanan yang dialami oleh mahkota kepala kemudian dibandingkan dengan grafik risiko cedera otak yang telah dibuat oleh penelitian sebelumnya. Sementara semua helm memberikan pengurangan lima hingga sepuluh kali lipat dalam hal risiko pendarahan otak sedang, ternyata risiko bagi seseorang yang mengenakan helm “Adrian” Prancis sekitar tahun 1915 jauh lebih kecil daripada helm lainnya yang tutut diuji, termasuk helm tempur modern yang lebih canggih sekalipun.
“Hasilnya menarik, karena helm Prancis diproduksi menggunakan bahan yang sama seperti helm-helm dari Jerman dan Inggris, dan bahkan memiliki dinding yang lebih tipis,” kata Op Eynde. “Perbedaan utamanya adalah, bahwa helm Prancis memiliki sebuah jambul di atas mahkotanya. Meskipun dirancang untuk menangkis pecahan peluru, fitur ini mungkin juga menangkis gelombang kejut.”
Mungkin bisa juga karena sensor tekanan dipasang langsung di bawah jambul, di mana menyediakan lapisan pertama tambahan untuk memantulkan gelombang kejut. Dan helm Prancis tidak menunjukkan keunggulan yang sama dalam sensor tekanan di lokasi lain. Untuk lokasi seperti telinga, kinerja tampaknya ditentukan oleh lebar pinggiran helm dan seberapa banyak bagian kepala yang dapat tertutupi.
Sedangkan untuk helm modern, Op ‘t Eynde berteori bahwa struktur berlapisnya mungkin penting dalam kinerjanya. Karena gelombang kejut terpantul setiap kali bertemu dengan material baru yang memiliki impedansi akustik yang berbeda, struktur berlapis dari helm modern mungkin berkontribusi pada perlindungan ledakannya.
Tetapi tidak peduli helm manapun yang diuji, hasilnya jelas menunjukkan bahwa helm mungkin memainkan peran yang sangat penting dalam melindungi terhadap trauma otak yang disebabkan ledakan ringan. Menurut para peneliti, temuan ini sendiri menunjukkan pentingnya meneruskan penelitian sejenis ini untuk merancang helm yang dapat lebih baik menyerap gelombang kejut dari ledakan di sekitar atas kepala.
“Perbedaan yang dapat dibuat oleh jambul sederhana atau pinggiran yang lebih luas dalam perlindungan ledakan, menunjukkan betapa pentingnya penelitian ini,” kata Op ‘t Eynde. “Dengan semua bahan modern dan kemampuan manufaktur yang kita miliki saat ini, kita harus dapat membuat perbaikan dalam desain helm yang melindungi dari gelombang ledakan, lebih baik daripada helm hari ini atau 100 tahun lalu.”