BAGIKAN
Credit: Johnhain

Sebelum kita mulai, mari kita melihat lebih dekat pandangan ilmuwan neurobiologi terkemuka dari Universitas Stanford, Robert Sapolsky, tentang konsep “free will” atau kehendak bebas. Dalam bukunya yang kontroversial berjudul “Determined: A Science of Life Without Free Will,” Sapolsky menyajikan pandangan yang mempertanyakan sejauh mana manusia benar-benar memiliki kehendak bebas.

Menurut Sapolsky, setelah lebih dari 40 tahun mempelajari perilaku manusia dan primata lainnya, ia berkesimpulan bahwa hampir semua perilaku manusia berada jauh di luar kendali sadar kita, seperti kejang yang terjadi pada pasien epilepsi, pembelahan sel, atau detak jantung. Pandangan ini mengesampingkan gagasan bahwa seseorang yang melakukan tindakan kejahatan atau kesalahan serius memiliki kendali penuh atas nasibnya. Dengan kata lain, ia berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas sebagaimana kita pikirkan.

Namun, pandangan Sapolsky ini merupakan pandangan yang kontroversial. Sebagian besar ahli ilmu saraf, filsuf, dan masyarakat umum masih mempercayai bahwa manusia memiliki sejauh itulah kehendak bebas. Kebebasan berpikir ini menjadi bagian penting dari bagaimana kita melihat diri kita sendiri, dan hal ini memotivasi pencapaian atau menimbulkan rasa malu saat kita gagal melakukan hal yang benar.

Sapolsky menyadari bahwa pandangannya ini bisa memicu perdebatan yang sengit. Karena itu, ia menunda penulisan bukunya yang baru ini dengan alasan ingin menghindari konflik interpersonal.

Dalam bukunya yang terbit baru-baru ini, Sapolsky menjelaskan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor neurokimia yang ada dalam tubuh, termasuk pengaruh dari faktor-faktor yang bersifat eksternal. Ia berpendapat bahwa tindakan-tindakan yang tampak sebagai pilihan sadar sejatinya dipengaruhi oleh impuls-impuls yang bersaing di luar kendali sadar kita. Faktor-faktor ini bisa mencakup berbagai hal, seperti rasa lapar, stres, pengaruh lingkungan, atau perasaan yang muncul secara tiba-tiba.

Sapolsky menunjukkan bahwa kita mungkin tidak memiliki kendali yang signifikan atas pilihan-pilihan hidup kita, seperti pilihan karier, pasangan hidup, atau rencana akhir pekan. Bahkan tindakan sekecil mengambil pena pun, menurut pandangan Sapolsky, sebenarnya sudah ditentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar kendali sadar kita.

Pendapat Sapolsky ini, tentu saja, menjadi kontroversial. Banyak ahli yang memiliki pandangan berbeda, mengatakan bahwa manusia memiliki sejauh itu kebebasan untuk memilih tindakan mereka. Pandangan yang berbeda ini didasarkan pada keyakinan bahwa meskipun kita dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita masih memiliki peran dalam membuat keputusan-keputusan kita.

Dalam hal ini, sangat penting untuk diingat bahwa pandangan Sapolsky adalah pandangan minoritas. Banyak ahli ilmu saraf dan filsuf lainnya mempertahankan keyakinan akan kebebasan berpikir manusia, dan banyak juga yang berpendapat bahwa mengakui keterbatasan kehendak bebas bisa menimbulkan perasaan putus asa dan kehilangan motivasi untuk bertanggung jawab atas tindakan kita.

Oleh karena itu, debat mengenai keberadaan kehendak bebas terus berlanjut, dan berbagai sudut pandang harus diperhitungkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kita harus mencoba memahami bahwa manusia adalah makhluk yang unik dengan kemampuan untuk merasakan pengalaman dan emosi. Lebih baik kita tidak membenci mesin atas kegagalannya.

Terlepas dari pandangan ini, inti dari debat ini adalah untuk memperluas pemahaman dan belas kasihan. Semoga dengan lebih memahami bagaimana pengaruh masa lalu atau kondisi kesehatan mental dapat memengaruhi seseorang, kita bisa lebih bijaksana dalam menyikapi tindakan orang lain dan diri sendiri. Dengan kata lain, menjadikan masyarakat lebih manusiawi dan berempati terhadap individu-individu yang mungkin terpengaruh oleh faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka.