Beranda Edukasi Listrik Tenaga Ganggang Riset Sulfahri

Listrik Tenaga Ganggang Riset Sulfahri

BAGIKAN
Dokter Universitas Hasanuddin, Sulfahri (28) saat berada di antara Ganggang (Alga) untuk bahan penilitian Alga menjadi Biotethanol dan biodisel di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, TEMPO/Iqbal Lubis.

Sulfahri, 28 tahun, terpilih menjadi tokoh 17 Agustus Koran Tempo. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk meneliti alga Spirogyra yang bisa dijadikan sumber bahan bakar.

Dia sungguh kepincut pada alga. Sudah 10 tahun dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, ini bergelut meneliti alga sebagai sumber bahan bakar. Hari-hari ini pun, ia tengah asyik meriset tumbuhan tersebut.

“Semua riset saya tentang alga,” katanya ketika dihubungi, Ahad, 13 Agustus 2017. Selain sibuk dengan riset tersebut, Sulfahri membimbing penelitian beberapa mahasiswa yang juga berfokus pada alga.

Sulfahri menyatakan penting bagi Indonesia untuk menemukan sumber energi baru dan terbarukan. Dia mulai melakukan penelitian ketika masih belajar di SMAN I Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pada 2007, dia dinobatkan sebagai inventor muda dalam

Exhibition for Young Inventors III di New Delhi, India.

Setelah lulus SMA, ia kuliah di Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Sejak itu, banyak penelitian tentang alga yang Sulfahri kerjakan

Tingkat kebutuhan Minyak

Pada 2015, kata dia, tingkat kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia 1,5 juta barel per hari. Padahal produksi nasional hanya sebesar 800 ribu barel per hari. Artinya, Indonesia masih harus mengimpor 700 barel atau sama dengan 46 persen dari total kebutuhan nasional.

Data Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi pada 2015 menyebutkan, Indonesia telah menghabiskan US$ 500 juta atau Rp 6,5 triliun untuk mengimpor bahan bakar minyak. Ia juga menyitir pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ketika itu, Sudirman Said, bahwa cadangan minyak Indonesia bisa bertahan hanya hingga 12 tahun mendatang. Artinya, bisa jadi pada 2045 semua kebutuhan bahan bakar Indonesia harus dipenuhi lewat impor.

Melihat situasi itu, Sulfahri memikirkan pentingnya energi alternatif. Sebelum melirik alga, Sulfahri sempat berpikir bahwa singkong bisa menjadi sumber energi.

Rupanya, alga memiliki lebih banyak keunggulan. Menurut Sulfahri, hanya 30 persen struktur singkong yang bisa dimanfaatkan untuk pengolahan energi, yaitu umbinya saja. Akar, batang, dan daun singkong tidak bisa dijadikan sumber bahan bakar. Sebaliknya, seluruh alga bisa diolah dengan bantuan fotosintesis.

Melimpahnya sinar matahari di negeri ini pun sangat menguntungkan reproduksi alga. Dari segi perkembangbiakan, alga Spirogyra pun lebih unggul. Sementara singkong baru bisa dipanen pada usia 6-10 bulan, alga bisa digunakan pada usia dua pekan. “Paling efektif memang mengembangkan alga,” ucapnya.

Saat ini, Sulfahri sedang berkompetisi dengan peneliti Inggris tentang riset alga Spirogyra. Ia berusaha menelurkan hasil riset bahwa alga Spirogyra bisa memproduksi bahan bakar pengganti bensin, juga solar.

“Satu penelitian yang menghasilkan dua fungsi bahan bakar sekaligus belum pernah terjadi. Target kami, pada 2018 penelitian ini selesai,” katanya. Ia telah mengeluarkan dana Rp 100-200 juta untuk penelitian ini.

Koordinator Bidang Hukum, Kebijakan Publik, dan Regulasi Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Paul Butarbutar, mendukung pengembangan alga sebagai sumber energi. Ia menyarankan agar pemerintah lebih berfokus memikirkan sumber energi baru itu.Walau begitu, kata Paul, ada pekerjaan rumah besar bagi peneliti alga Spirogyra. Sulfahri dan peneliti lainnya diminta memikirkan proses panen alga. “Sampai saat ini teknologi panen alga belum maju di Indonesia, takutnya harga produksinya jadi mahal,” tutur Paul.