Dalam hal penggunaan perlatan, kebiasaan menggunakan kembali peralatan bekas dan barang-barang lama mungkin telah dipraktekan oleh manusia prasejarah. Sebuah studi baru mengajukan hipotesis menarik mengapa hal ini terjadi.
Setelah memeriksa alat-alat batu dari suatu lapisan di situs prasejarah Revadim yang berusia 500.000 tahun di selatan Dataran Pesisir Israel, para peneliti mengusulkan penjelasan barunya. Manusia prasejarah pada dasarnya adalah kolektor dikarenakan budaya maupun terjadi secara alami.
Studi ini menunjukkan bahwa mereka memiliki dorongan emosional untuk mengumpulkan artefak kuno buatan manusia. Sebagian besar sebagai sarana untuk melestarikan kenangan terhadap nenek moyang mereka dan menjaga keterhubungan mereka dengan tempat dan waktu.
Temuan yang kaya di Revadim menunjukkan bahwa pada masanya situs ini adalah sebuah tempat yang populer di era prasejarah. Berulang kali dikunjungi oleh manusia purba dari berbagai generasi kareba terdapat banyak satwa liar, termasuk gajah. Selain itu, daerah ini kaya dengan batu api berkualitas baik, dan sebagian besar alat yang ditemukan di Revadim sebenarnya terbuat dari batu api yang murni.
Peralatan batu api bekas yang tergeletak di tanah selama beberapa dekade atau berabad-abad mengakumulasi lapisan patina yang mudah dikenali berdasarkan warna dan teksturnya. Melalui studi patina dari objek – yaitu lapisan kimia yang menempel pada batu api saat terkena udara terbuka untuk jangka waktu yang lama – para peneliti menentukan fungsi objek ini di dua siklus penggunaan yang berbeda. Bagian yang lebih tua terutama untuk memotong, dan bagian yang lebih baru untuk menggores (memproses bahan lunak seperti kulit dan tulang).
“Mengapa manusia prasejarah mengumpulkan dan mendaur ulang alat yang sebenarnya diproduksi, digunakan, dan dibuang oleh pendahulu mereka, bertahun-tahun sebelumnya?” kata arkeolog Bar Efrati dari Universitas Tel Aviv di Israel.
“Kelangkaan bahan baku jelas bukan alasan di Revadim, di mana batu api yang berkualitas baik mudah didapat. Motivasinya juga tidak hanya secara fungsional, karena penggunaan alat-alat bekas tidak biasa dalam bentuk atau secara unik cocok untuk penggunaan tertentu.”
Alat-alat tersebut dibentuk ulang kembali dengan cara yang sangat spesifik dan seminimal mungkin. Mungkin dengan harapan dapat mepertahankan bentuk aslinya, termasuk patinanya, dan hanya sedikit memodifikasi tepi yang aktif.
Berdasarkan petunjuk-petunjuk ini, para peneliti berpikir bahwa alat-alat tersebut memiliki nilai sentimental dan dikumpulkan karena ingatan yang mereka bangkitkan atau ikatan khusus mereka dengan masa lalu.
“Bayangkan manusia prasejarah berjalan melalui suatu lanskap 500.000 tahun yang lalu, ketika sebuah alat batu tua menarik perhatiannya,” kata arkeolog Ran Barkai dari Universitas Tel Aviv. “Alat itu adalah sesuatu yang bermakna baginya – ia membawa ingatan leluhurnya atau membangkitkan koneksi ke tempat tertentu.”
“Dia mengambilnya dan menimbangnya di tangannya. Artefak itu menyenangkannya, jadi dia memutuskan untuk membawanya pulang. Memahami bahwa penggunaan sehari-hari dapat melestarikan dan bahkan meningkatkan ingatan, dia memperbaiki sisi-sisinya untuk digunakan sendiri, tetapi dengan kehati-hatian agar tidak benar-benar mengubah bentuknya – untuk menghormati pembuatan pertama.”
Dalam analogi modern, manusia prasejarah dapat disamakan dengan seorang petani muda yang masih membajak sawahnya menggunakan sebuah traktor tua milik kakek buyutnya, sesekali mengganti suku cadang, tetapi tetap memelihara mesin tua apa adanya dengan baik, karena melambangkan ikatan keluarganya dengan tanah itu,” kata Barkai.
Penelitian ini telah dipublikasikan di Scientific Reports .