BAGIKAN
Image by Indranil Sarker from Pixabay

Dalam hal yang berkaitan dengan membangun hunian yang ramah lingkungan, hemat energi serta berkelanjutan, sepertinya manusia harus banyak belajar dari hewan rayap. Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Science Advances menyebutkan bagaimana sejenis rayap dari afrika mampu mempertahankan kesejukan dan menstabilkan temperatur di dalam sarangnya sepanjang tahun. Jawabannya ada pada dinding dari sarang tersebut, yang mempunyai tekstur berpori dan saling berhubungan.

Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim di bumi mendorong manusia untuk merubah gaya hidup mereka menjadi ramah lingkungan. Konsep bangunan ramah lingkungan sudah menjadi trend terbaru masa kini. Para arsitek dan kontraktor secara kontinu berusaha mencari dan memperbaharui desain dan konstruksi bangunan agar menjadi lebih sejuk tanpa perlu menggunakan energi yang berlebihan.

Faktanya, tingginya permintaan penyejuk udara (AC) adalah salah satu faktor yang paling sering dikritik dalam setiap debat tentang energi — diperkirakan ada 10 unit air penyejuk udara (AC) yang terjual setiap detik hingga tiga puluh tahun kedepan. Semakin tingginya suhu bumi menyebabkan kebutuhan akan bangunan yang sustain dan hemat energi penyejuk udara.

Mengapa kita harus berkaca pada rayap. Rayap — seringkali disamakan dengan saudara dekatnya, semut — adalah sejenis serangga yang sangat canggih dalam hal membangun hierarki struktur sosial dalam kelompoknya — memiliki raja, ratu, pekerja dan juga prajurit. Seperti halnya manusia, serangga yang juga sepupu dari kecoak ini lebih suka membangun suatu bentuk lingkungan yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal, dibandingkan harus merubah cara hidup untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai contoh, beberapa jenis rayap sangat ahli dalam hal berkebun jamur yang membantu mereka untuk mencerna makanan. Jenis rayap lainnya mampu hidup di daerah yang sangat kering dan panas yang sebenarnya bisa membahayakan diri mereka. Untuk bisa hidup di lingkungan yang keras seperti ini (dalam beberapa kasus, juga untuk perkebunan jamur yang telah diciptakan) mereka membangun sarang dengan struktur yang cukup sejuk dan juga lembap.

Karena berbagai alasan tersebut, sarang rayap telah lama menjadi bahan penelitian dan dijadikan sebagai contoh bangunan dengan ventilasi (sirkulasi udara) yang efektif dan bisa mengontrol temperatur di dalamnya. Tetapi, bagaimana mereka membangun konstruksi sarangnya sehingga berdiri dengan bentuk seperti sekarang, belum pernah bisa dipahami secara baik.

Beda jenis rayap, beda pula mekanisme cara hidupnya

Beberapa jenis rayap, yang mempunyai kebun jamur, membangun menara di sarang mereka dengan konstruksi yang terdiri dari banyak lubang dan terowongan sebagai sistem ventilasi. Terowongan dibangun untuk mengatur ventilasi dari sarang dengan sistem cara kerja yang sama seperti cerobong asap dan jendela pada rumah manusia. Beberapa bangunan pernah dibangun dengan meniru sistem ventilasi dari sarang rayap ini, sepeti Eastgate Centre in Zimbabwe yang bisa mengurangi hingga 90 % penggunaaan energi dibanding kan dengan gedung di sebelahnya.

Tetapi, untuk jenis rayap yang tidak memiliki kebun jamur di dalam sarangnya, tekstur dinding sarangnya lebih halus, tanpa memiliki lubang pori-pori. Adanya sistem ventilasi sangat penting bagi kelangsungan hidup rayap. Hingga saat ini, tidak pernah diketahui secara jelas, bagaimana rayap ini bisa membuat udara di dalam sarangnya tetap mengalir sehingga mereka tidak pernah kesulitan bernafas.

Atas: sarang yang digali dari Senegal dan Guinea, masing-masing tingginya hampir setengah meter. Bawah: Foto sinar-X (dalam milimeter) dari dinding luar sarang. Dinding yang kokoh berwarna abu-abu, pori-porinya berwarna gelap. Udara bergerak melalui lubang tersebut agar rayap bisa bernafas di dalam sarang. [Credit: Bagus Muljadi]

Struktur bangunan adalah kunci dari sistem ventilasi sarang

Tim peneliti yang terdiri dari ahli biologi, insinyur, ahli matematika dari Prancis dan Inggris bergabung untuk mempelajari sistem ventilasi dari sarang rayap. Dalam penyelidikan mereka ditemukan bahwa satu blok dari bangunan sarang dioptimalkan untuk proses ventilasi yang natural dan efektif.

Para peneliti berfokus pada jenis rayap yang tidak berkebun jamur di dalam sarangnya, mereka mengambil sample dari dinding sarang rayap yang mereka temukan di Senegal dan Guinea, Afrika Barat. Sarang rayap tersebut terbuat dari partikel tanah liat yang dicampur dengan air dan liur rayap. Walaupun terlihat tidak memiliki pori-pori, dinding sarang rayap tersebut ternyata terdiri dari pori-pori berukuran mikrometer.

Kemudian mereka melakukan pemeriksaan lanjutan dengan mengambil foto dengan alat pemindai mikro sinar-X  yang biasa dipergunakan di rumah sakit — dengan resolusi yang lebih baik. Hasilnya terungkap bahwa rayap membangun dinding sarangnya dengan terdiri dari pori-pori kecil dan juga pori-pori yang berukuran sedikit lebih besar dan saling berhubungan. Dan ternyata, sekitar 99% dari pori-pori yang ada di dinding sarang tersebut saling berhubungan.

Dengan alat pemindai sinar-X, para peneliti kemudian membangun versi digital dari sarang tersebut, mirip dengan membangun dunia digital untuk video games. Kemudian mereka mensimulasikan sarang digital tersebut dengan kondisi lingkungan tempat tinggal rayap—kering di Senegal dan lebih basah di Guinea.

Kami bisa menemukan bahwa fungsi dari pori-pori berukuran besar adalah untuk menyaring udara melewati dinding luar sama halnya seperti kopi yang tersaring oleh sebuah filter. Inilah kunci dari sistem ventilasi dan pengaturan suhu di sarang tersebut.

Dengan membuat saluran ventilasi kecil, pori-pori dari sarang mengatur udara keluar-masuk seperti cara kerja paru-paru manusia. Apabila paru-paru mengembang dan mengempis untuk menjalankan ventilasi udara, pada sarang rayap, aliran udara masuk dan keluar dari sarang digerakkan oleh perbedaan temperatur antara bagian dalam dan luar sarang.

Para peneliti masih belum bisa mengungkapkan apakah rayap membangun dinding dengan pori-pori yang saling berhubungan ini karena hanya mengikuti aturan konstruksi atau disebabkan karena bentuk dari butiran-butiran tanah liat yang dikemas menjadi satu. Dan hasil penelitian mengungkap bahwa hal tersebut lebih disebabkan pleh struktur, bukan jenis material yang digunakan. Mengingat bahwa sampel diambil dari dua area yang komposisi materialnya sangat berbeda (pasir di Senegal dan tanah liat di Guinea).

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengaplikasikan prinsip desain yang sama dan membangunnya dalam skala besar untuk manusia. Tidak ada yang mau tinggal di bangunan yang berbentuk persis sama dengan sarang rayap, lengkap dengan ruangan untuk jamur.

Dengan belajar dari rayap, menuntun kita untuk bisa menciptakan material bangunan sintetik dengan pori-pori yang saling berhubungan. Sangat penting diingat bahwa banyak yang bisa kita pelajari dari alam, dengan kecerdasan yang dimiliki manusia, manusia bisa mengadaptasikan mekanisme cara kerja alam menjadi teknologi yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.


University of Nottingham 

The Conversation