BAGIKAN
Listeria bakteri mentranspor elektron melalui dinding sel mereka ke lingkungan sebagai arus kecil, dibantu oleh molekul flavin di mana-mana (titik-titik kuning). (Amy Cao grafis, hak cipta UC Berkeley)

Berbeda dengan manusia dan makhluk hidup lainnya di planet ini, yang bernafas dengan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida, satu jenis bakteri, Geobacter, ‘bernafas’ dengan menelan material-material organik dan menghembuskan elektron, partikel subatom bermuatan negatif, dan menghasilkan arus listrik yang sangat kecil dalam proses tersebut.

Elektron-elektron yang dihasilkan oleh Geobacter, selanjutnya akan berinteraksi dengan mineral-mineral yang terdapat di bawah tanah, seperti besi oksida. Dan Geobacter memiliki mekanisme tersendiri untuk memastikan interaksi tersebut terjadi.

“Geobacter bernafas melalui sebuah alat pernapasan ‘snorkel’ raksasa yang ukurannya ratusan kali lebih besar dari ukuran tubuhnya,” kata Nikhil Malvankar, seorang assistant professor pada Yale University’s Microbial Science Institute di Connecticut.

Snorkel tersebut disebut dengan nanowire. Walaupun filamen-filamen kecil konduktor (penghantar arus listrik) ini berukuran 100.000 kali lebih kecil dari rambut manusia, tetapi mampu mengalirkan elektron-elektron sepanjang ratusan hingga ribuan kali ukuran tubuh mikroba Geobacter.

Karena kemampuannya ini, Geobacter disebut sebagai makhluk dengan kemampuan bernafas paling hebat di Bumi. (“Anda tidak dapat menghembuskan nafas hingga sejauh 300 meter (1.000 kaki) di depan anda bukan?” kata Malvankar.

Dalam sebuah penelitian yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Chemical Biology, Malvankar dan rekan-rekannya berhasil menemukan cara untuk mengkombinasikan energi listrik yang dihasilkan oleh bakteri Geobacter ini menjadi sebuah sumber energi mikroba.

Dengan menggunakan teknik mikroskop terbaru, para peneliti berhasil mengungkap “molekul rahasia” yang membuat Geobacter mampu menghembuskan nafas hingga jarak yang sangat jauh, yang belum pernah terlihat pada jenis bakteri manapun.

Tim peneliti juga menemukan bahwa dengan menstimulasi koloni-koloni dari Geobacter dengan sebuah medan listrik, mikroba ini akan mengalirkan arus listrik 1.000 kali lebih efisien dari arus listrik yang dihasilkan pada habitat alami mereka.

Dengan memahami bagaimana kemampuan menghasilkan arus listrik terbentuk, akan membuka jalan untuk merubah koloni Geobacter menjadi sumber energi (baterai) hidup dan bernafas, kata para peneliti.

Jauh di bawah permukaan tanah dengan kondisi lembab dan sedikit sekali kandungan oksigen, hanya sedikit sekali bakteri yang mampu bertahan hidup di sana, dan bakteri Geobacter adalah salah satunya.

Nanowire, bagian dari tubuh Geobacter yang membuat bakteri ini mampu bernafas tanpa kehadiran oksigen, menjadi bagian yang penting dari bakteri tersebut yang membuatnya mampu bertahan hidup dari bawah permukaan tanah.

Dalam penelitian sebelumnya, Malvankar dan rekan-rekannya menemukan bahwa mikroba Geobacter sulfurreducens yang ditumbuhkan di lab, ketika distimulasikan dengan medan listrik, akan membentuk lapisan biofilm yang padat yang menutupi ratusan individual mikroba, mengalirkan elektron dalam sebuah jaringan bersama.

“Mereka saling tersusun seperti sebuah apartemen bertingkat, dengan ratusan lantai tingginya,” kata Malvankar. ”Dan mereka saling berbagi dalam satu jaringan listrik yang sama, secara konstan terus mengalirkan elektron.”

Pertanyaan besar yang belum terjawab oleh Maldova dan rekan-rekan peneliti lainnya adalah bagaimana mikroba pada lantai ke-100, yang berada di tempat paling tinggi, bisa menembakkan elektron kebagian bawah dari tumpukan mikroba-mikroba tersebut, kemudian mengeluarkannya melalui nanowire. Mereka mampu secara efektif menghembuskan elektron hingga jarak ribuan kali dari ukuran tubuh bakteri itu sendiri.

Untuk mengungkap mekanisme kerja nanowire pada Geobacter ini, para peneliti menganalisa kultur Geobacter yang ditumbuhkan di lab dengan menggunakan teknik mikroskop paling canggih.

Pertama, mereka menggunakan teknik mikroskopis energi atom, dan dihasilkan informasi tentang struktur dari nanowire Geobacter dengan menyentuh permukaannya dengan perangkat mekanikal yang sangat sensitif.

“Mirip seperti membaca dengan huruf Braille, tetapi huruf timbulnya berukuran sepersejuta meter, kata Sibel Ebru Yalcin, peneliti dari Yale’s Microbial Sciences Institute.

Teknik kedua, dikenal dengan nano spektroskopi infra merah, para peneliti berhasil mengidentifikasi molekul-molekul spesifik pada nanowire dari cara mereka menyebarkan cahaya infra merah. Dengan kedua metode ini, para peneliti dapat mengetahui karakteristik unik dari setiap asam amino pada protein yang membentuk nanowire bakteri Geobacter.

Tim peneliti menemukan bahwa ketika disimulasikan dengan medan listrik, Geobacter akan menghasilkan nanowire yang terbuat dari protein yang disebut dengan OmcZ.

Terbentuk dari material metalik yang disebut Hemes, protein ini membentuk nanowire yang mampu menghasilkan arus listrik 1.000 kali lebih efisien dari nanowire yang dimiliki oleh Geobacter yang tumbuh di tanah, sehingga mikroba-mikroba ini mampu menghembuskan elektron hingga jarak yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Selama lebih dari satu dekade, para ilmuwan telah memanfaatkan koloni bakteri Geobacter ini sebagai sumber tenaga listrik kecil yang sebut dengan sumber energi mikroba.

Bakteri ini mampu memperbaiki dirinya dan menghasilkan energi listrik yang kecil tetapi konstan. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Angkatan Laut AS pada tahun 2008, para peneliti menggunakan sumber tenaga listrik Geobacter pada sebuah pelampung cuaca kecil di sungai Potomac, Washington DC selama lebih dari sembilan bulan tanpa menunjukkan tanda-tanda energinya melemah.

Dan karena energi listrik yang dihasilkan dari sumber energi mikrobial ini sangat kecil (pelampung cuaca tersebut hanya memerlukan energi sekitar 36 miliwatt atau seperseribu watt), tentu saja perangkat yang bisa menggunakannya sangat terbatas.

Dari hasil penelitian terbaru ini, para ilmuwan kini mengetahui bagaimana memanipulasi nanowire mikrobial ini, agar dapat menghasil energi listrik yang besar lagi. Informasi yang didapatkan para peneliti dapat sangat membantu pengembangan produk bio-elektronik yang murah dan mudah. Dan diharapkan nantinya dapat dihasilkan produk baterai bertenaga mikrobial generasi terbaru yang ramah lingkungan.