BAGIKAN
(credit: Matheus Ferrero)

Sebuah penelitian telah menemukan bahwa orang dengan bau badan yang serupa, cenderung lebih cocok untuk menjalin pertemanan. Penelitian ini juga ini juga menemukan bahwa pertemanan yang sudah terjalin lama, cenderung berbau sama dibandingkan pertemanan secara random atau di antara orang-orang yang baru kenal.

Mungkin aroma bau tersebut sulit untuk dikenali melalui pengendusan kita. Dan sebuah alat elektronik pencium bau yang dikenal sebagai eNose, membantu dalam penelitian ini.  eNose dapat memetakan kesamaan bau dan juga memprediksi kemungkinan ikatan orang yang tidak dikenal selama interaksi sosial.

Penelitian sebelumnya telah menemukan bukti yang menunjukkan bahwa untuk dijadikan pasangan seksual, terdapat kecenderungan untuk lebih tertarik terhadap orang dengan aroma bau badan yang jauh berbeda. Manusia dapat mendeteksi pasangan mana yang secara genetik lebih disukai melalui penciuman.

Karena bau badan mencerminkan susunan genetik, dan terutama sistem kekebalan. Ini mungkin merupakan mekanisme bawah sadar untuk memilih orang lain yang berbeda secara genetik. Sehingga memeperbesar peluang keturunan yang lebih sehat atau lebih mampu untuk bertahan hidup.

Misalnya, jika seseorang yang mengidap penyakit yang diturunkan secara genetik seperti asma, cenderung untuk tidak memilih pasangan seksual yang asma juga. Hal ini dimungkinkan untuk mendapatkan keturunan yang lebih sehat, atau lebih besar peluangnya untuk bertahan hidup.

“Sebaliknya, pertemanan sangat mirip satu sama lain dalam banyak aspek seperti usia, nilai-nilai serta kepribadian dan bahkan respons otak dan susunan genetik.” kata Inbal Ravreby, penulis utama studi tersebut, mengatakan kepada IFLScience.

Mengapa manusia berevolusi untuk membentuk hubungan dengan di antara mereka yang berbau serupa? Ini bisa menjadi mekanisme bawah sadar untuk menyimpulkan kesamaan genetik.

“Alasan di balik intuisi ini adalah bahwa teman secara genetik lebih mirip satu sama lain daripada pasangan acak, tetapi orang tidak mengurutkan genom satu sama lain sebelum memutuskan apakah akan berteman atau tidak,” kata Ravreby.

“Dugaan saya adalah karena bau badan berkorelasi dengan susunan genetik (dan terutama dengan sistem kekebalan), mencium orang lain memungkinkan kita untuk membandingkan antara bau badan mereka dan bau badan kita sendiri, dan dengan itu kita mungkin memiliki indikasi kesamaan tingkat genetik di antara kita.”

Tentu saja penelitian ini akan lebih cocok untuk pertemanan dan interaksi sosial dalam kehidupan nyata. Sehingga memungkinkan terjadinya proses “pengendusan” di antara orang-orang.

Selain itu, ada sebuah laporan yang mengatakan bahwa orang yang tiba-tiba penciumannya terganggu, memiliki gangguan sosial dalam kehidupannya.

“Dalam penelitian yang baru-baru ini kami mulai, kami akan memanipulasi bau badan manusia dan memeriksa mekanisme yang mendasarinya. Kami akan menguji apakah ketika orang mencium seseorang dengan bau yang mirip dengan bau badannya sendiri (dimanipulasi), mereka akan lebih termotivasi untuk menjadi teman daripada ketika mencium seseorang dengan bau badan yang berbeda” kata Ravreby.

“Ini akan dilakukan selama pemindaian fMRI, yang memungkinkan kami untuk memeriksa apakah memang manusia menggunakan bau badan mereka sendiri untuk dibandingkan dengan bau badan orang lain.”

“Kami berhipotesis bahwa ketika mencium bau badan yang sama, area otak diri dan area otak sosial akan lebih aktif daripada saat mencium bau badan yang berbeda. Secara lebih luas, saya kira banyak hal besar dalam hidup terletak pada hal-hal kecil yang membuat perbedaan – nuansa ini selama interaksi, yang saya rencanakan untuk dipelajari lebih lanjut.”

Penelitian ini telah diterpitkan di jurnal Science Advances.