BAGIKAN
(Alexandra L. Morton-Hayward)

Biasanya, pelestarian jaringan lunak secara alami pada jasad manusia yang tertinggal (tanpa pembalseman atau pembekuan buatan) adalah kejadian yang langka. Penelitian dekomposisi eksperimental menunjukkan bahwa otak adalah salah satu organ pertama yang mengalami pembusukan.

Selama ini, diyakini bahwa pelestarian otak manusia pada jasad yang sudah terurai seluruhnya (kecuali tulang) adalah fenomena yang sangat langka – hampir tidak pernah terjadi. Namun, Alexandra Morton-Hayward dan rekan-rekannya ingin mengetahui seberapa langkanya hal tersebut, maka mereka memulai pencarian global untuk menemukan otak manusia yang terawetkan.

Penelitian mereka melibatkan penelaahan menyeluruh terhadap semua literatur ilmiah yang diterbitkan dan bisa mereka dapatkan, serta menghubungi sejarawan di seluruh dunia. Mereka berhasil mendokumentasikan total 4.405 otak manusia terawetkan dari 213 sumber yang dilaporkan dari semua benua di dunia kecuali Antartika. Catatan tersebut berasal dari pertengahan abad ke-17 dan seterusnya.

Otak-otak ini ditemukan di berbagai lingkungan, termasuk:

  • Kuburan massal dari Perang Saudara Spanyol, di mana otak terawetkan meskipun mengalami luka tembak yang parah.
  • Gurun pasir di Mesir Kuno.
  • Korban pengorbanan ritual Inca di gunung berapi Llullaillaco yang tidak aktif sekitar tahun 1450 Masehi.
  • Tollund Man yang berasal dari 220 SM, ditemukan di gambut.
  • Tepi danau di Swedia pada Zaman Batu.

Kondisi lingkungan tempat otak-otak tersebut ditemukan ternyata terkait dengan jalur pelestarian alami. Ini termasuk dehidrasi, pembekuan, penyamakan (seperti di gambut), dan saponifikasi, di mana lemak berubah menjadi seperti lilin.

Ada temuan menarik lainnya. Dari 4.405 otak, jumlah yang sangat tinggi – 1.308, hampir sepertiga dari total – merupakan satu-satunya struktur jaringan lunak yang bertahan pada jasad yang sudah sepenuhnya menjadi kerangka. Otak-otak ini juga termasuk yang tertua, dengan usia mencapai 12.000 tahun.

Metode pengawetan otak-otak ini tidak dapat dikaitkan dengan kondisi pengawetan alami. Mereka ditemukan di suatu lokasi seperti kuburan dangkal dan massal, makam, bangkai kapal, gundukan pemakaman, dan bahkan kepala yang dipenggal. Hal ini, menurut para peneliti, menunjukkan bahwa mungkin ada mekanisme pengawetan jaringan lunak yang khusus untuk sistem saraf pusat.

Mekanisme tersebut masih menjadi misteri, tetapi para peneliti menduga itu bisa jadi interaksi antara molekul-molekul di otak dengan sesuatu di lingkungan. Misalnya, protein, lipid, dan gula dalam otak dapat bergabung dan membentuk makromolekul polimer yang stabil dengan adanya logam tertentu, seperti tembaga, yang banyak terdapat di otak.

Para peneliti berencana untuk menyelidiki fenomena menarik ini secara lebih rinci untuk menentukan bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun, masih banyak yang perlu kita pelajari dari temuan para ilmuwan ini.

“Arsip yang dikompilasi di sini mewakili langkah pertama menuju penyelidikan komprehensif dan sistematis terhadap otak purba di luar sekitar 12.000 tahun sebelum masa kini, dan penting untuk memaksimalkan informasi molekuler dan morfologis yang dihasilkan sebagai organ paling aktif secara metabolisme di dalam tubuh, dan termasuk jaringan lunak yang paling umum diawetkan,” tulis para penulis dalam makalah mereka.

“Otak purba mungkin memberikan wawasan paleobiologis yang baru dan unik, membantu kita untuk lebih memahami sejarah gangguan neurologis utama, kognisi dan perilaku kuno, serta evolusi jaringan saraf dan fungsinya.”

Penelitian ini telah diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences.