BAGIKAN
(Wikimedia)

Sebagian besar orang mengenal uranium sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir. Dan meskipun itu adalah aplikasi yang paling umum, elemen ini juga digunakan di banyak bidang lainnya. Seperti pewarna, peralatan medis, dan persenjataan. Para ilmuwan di Laboratorium Mikrobiologi Lingkungan (EML) EPFL baru-baru ini telah membuat penemuan penting tentang uranium. Sehingga dapat memiliki implikasi besar dalam perbaikan kualitas tanah dan airnya serta pengelolaan limbah radioaktif. Penelitian mereka telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications.

Uranium adalah suatu logam berat radioaktif yang ditemukan di kerak bumi dan dalam air dengan jumlah yang sedikit. Selain itu terdapat juga di udara, tumbuhan, dan berbagai organisme. Manusia sendiri memiliki sedikit kandungan uranium pada tulangnya. Para ilmuwan EML mempelajari sifat uranium yang terjadi secara alami di lingkungan. Membuat terobosan signifikan dalam memahami bagaimana ia berpindah dari satu keadaan yang telah teroksidasi menuju keadaan lainnya. Bertransisi dari suatu senyawa yang terlarut dalam air menuju sebuah mineral yang stabil.

Dalam kimia ada yang dikenal dengan istilah bilangan oksidasi, yaitu jumlah muatan negatif dan positif dalam atom, yang secara tidak langsung menandakan jumlah elektron yang telah diterima atau diserahkan.



“Pada bilangan oksidasi +6, uranium sebagian besar dapat larut dan karena itu dapat menyebar tanpa terkendali di lingkungan,” kata Zezhen Pan, ilmuwan EML dan penulis utama studi tersebut. “Tetapi pada bilangan oksidasi +4, ia kurang larut dan kurang mobile. Dalam penelitian kami, kami dapat menunjukkan mekanisme interaksi pada skala nano antara uranium dan partikel magnetit, suatu oksida besi yang bersifat magnetik, terhadap transisi dari suatu keadaan oksidasi menuju keadaan lainnya. Kami menunjukkan kegigihan dari Uranium pada bilangan oksidasi +5, yang biasanya dianggap metastabil – tidak stabil dan mudah berpindah ke keadaan lainnya.”



Yang paling menarik, para ilmuwan juga mengidentifikasi fenomena molekuler yang terjadi selama transformasi dari bilangan oksidasi +6 ke +4. Mereka menemukan pembentukan kawat nano baru yang terdiri dari nanopartikel sangat kecil (~ 1-2 nm) yang terkumpul secara spontan menjadi suatu ikatan. Ikatan ini akhirnya runtuh saat setiap nanopartikel tumbuh lebih besar.

Para ilmuwan mampu melihat kawat nano — yang memiliki diameter hanya 2-5 nm, atau 100.000 kali lebih tipis dari rambut manusia — berkat mikroskop elektron di Interdisciplinary Center for Electron Microscopy (CIME) EPFL. Identifikasi struktur kawat nano dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana senyawa radioaktif menyebar di bawah permukaan pada suatu lokasi yang terkontaminasi.

“Temuan ini menjanjikan karena memberikan wawasan tentang bagaimana suatu mineral berskala nano terbentuk secara alami melalui interaksi pada antarmuka air-mineral,” kata Rizlan Bernier-Latmani, kepala EML. “Kami sekarang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme molekuler yang bekerja untuk proses ini.”