BAGIKAN
Photo by William Bossen on Unsplash

Dari enam atau lebih spesies manusia purba yang semuanya termasuk dalam genus Homo, mengalami kepunahan akibat perubahan iklim. Hanya kita – Homo sapiens – yang berhasil bertahan hidup, yang mungkin saja akan bernasib sama dengan penyebab yang sama.

Sebuah penelitian yang menggabungkan pemodelan iklim dan catatan fosil, dilakukan untuk mencari petunjuk tentang apa yang menyebabkan kepunahan leluhur manusia sebelumnya. Hasilnya menunjukkan bahwa ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan suhu yang semakin dingin atau semakin panas, mungkin telah memainkan peran penting dalam menentukan nasib mereka.

“Penemuan kami menunjukkan bahwa terlepas dari inovasi teknologi termasuk penggunaan api dan perkakas batu yang dihaluskan, pembentukan jaringan sosial yang rumit, dan — dalam kasus Neanderthal — bahkan produksi ujung tombak yang direkatkan, pakaian yang pas, dan sejumlah budaya dan pertukaran genetik dengan Homo sapiens, berbagai spesies Homo di masa lalu tidak dapat bertahan hidup dari perubahan iklim yang intens,” kata Pasquale Raia dari Università di Napoli Federico II di Napoli, Italia. “Mereka berusaha keras; mereka pergi ke tempat-tempat terhangat yang dapat dijangkau saat iklim menjadi dingin, tetapi pada akhirnya, itu tidak cukup.”





Untuk menjelaskan kepunahan masa lalu dari spesies Homo, termasuk H. habilis, H. ergaster, H. erectus, H. heidelbergensis, H. neanderthalensis, dan H. sapiens, para peneliti mengandalkan emulator iklim masa lalu beresolusi tinggi. Menyediakan suhu, curah hujan, dan data-data lainnya selama 5 juta tahun terakhir.

Mereka juga menelaah database fosil yang luas. Mencakup lebih dari 2.750 catatan arkeologi untuk memodelkan evolusi ceruk iklim berbagai spesies Homo dari waktu ke waktu. Tujuannya adalah untuk memahami preferensi iklim dengari manusia purba tersebut, dan bagaimana mereka bereaksi terhadap perubahan iklim.

Penelitian mereka menawarkan bukti kuat bahwa tiga spesies Homo — H. erectus, H. heidelbergensis, dan H. neanderthalensis — kehilangan sebagian besar ceruk iklim mereka sesaat sebelum punah. Mereka melaporkan bahwa penurunan ini bertepatan dengan perubahan tajam dan tidak menguntungkan bagi iklim global. Dalam kasus Neanderthal, keadaan menjadi lebih buruk karena adanya persaingan dengan H. sapiens.





“Kami terkejut dengan keteraturan dari efek perubahan iklim,” kata Raia. “Jelas sekali, bagi spesies-spesies yang telah punah dan hanya untuk mereka, bahwa kondisi iklim terlalu ekstrim sebelum kepunahannya dan hanya pada saat tertentu.”

Raia mencatat bahwa ada ketidakpastian dalam merekonstruksi paleoklimatik, identifikasi dari sisa-sisa fosil pada tingkat spesies, dan penanggalan situs fosil. Tapi, katanya, wawasan utama “berlaku di bawah semua asumsi.” Temuan ini mungkin berfungsi sebagai semacam peringatan bagi manusia saat ini karena kita menghadapi perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya, kata Raia.

“Sangat mengkhawatirkan untuk menemukan bahwa nenek moyang kita, yang tidak kalah mengesankan dalam hal kekuatan mental dibandingkan dengan spesies lainnya di Bumi, tidak dapat bertahan terhadap perubahan iklim,” katanya. “Dan kami menemukan bahwa saat spesies kita sendiri menggergaji dahan pohon tempat kita duduk, dengan menyebabkan perubahan iklim. Saya pribadi menganggap ini sebagai pesan peringatan yang menggelegar. Perubahan iklim membuat Homo rentan dan malang di masa lalu, dan ini mungkin saja terjadi lagi.”