TEPIAN Sungai Thames, London, kebanjiran orang pada suatu hari di bulan Februari 1601. Berpasang mata, dari saudagar hingga orang biasa, menatap lima kapal anggun berbendera Saint George Cross yang melintas di depan mereka. Pita dan bendera menghiasi kapal-kapal itu. Meriah!
Armada dari Kongsi Dagang Inggris (EIC) di bawah pimpinan Kapten James Lancaster itu memulai pelayaran berbahaya, mengarungi samudera sekaligus membawa misi “suci” yang beragun kehormatan kerajaan. Mereka bukan hanya akan menghadapi jarak yang jauh, ganasnya alam, atau ancaman kapal-kapal Portugis ataupun Spanyol, tapi juga Hindia Timur yang jadi tujuan mereka masih sebatas imajinasi di benak sebagian besar awak kapal.
Dengan dukungan dari Ratu Elizabeth I, pelayaran Lancaster menandai keterlibatan Inggris secara resmi dalam pelayaran ke Hindia Timur untuk memperebutkan rempah-rempah, komoditas utama perniagaan dunia kala itu. Selain mengawetkan bahan makanan, orang-orang Eropa menggunakan rempah-rempah untuk obat berbagai penyakit. Ketika wabah mematikan merenggut banyak nyawa penduduk London pada abad ke-16, misalnya, mereka meyakini pala sebagai jawabannya.
Inggris mulanya mendapatkan rempah-rempah dari Venesia (Italia) atau Lisabon (Portugis) dengan harga amat mahal. Namun, sejak 1580, ketika Raja Philip II merebut tahta kekuasaan di Portugal, pasar-pasar Lisabon menutup pintu pengiriman rempah-rempah ke Inggris.
“Kini ada satu kebutuhan mendesak untuk mengirim misi perdagangan yang berhasil ke Hindia Timur,” tulis Giles Milton, penulis buku ini.
Setelah berlayar berbulan-bulan, armada Lancaster tiba di Aceh, Banten, dan akhirnya mencapai Kepulauan Banda, “gudang” rempah-rempah yang mereka cari. Selain sambutan hangat dari penguasa dan penduduk lokal, EIC mendapatkan rempah-rempah dengan harga murah. Mereka juga mendapatkan izin untuk membangung gudang di Pulau Run.
“Pada masa itu, Run adalah pulau yang paling dibicarakan di dunia, sebuah tempat dengan kekayaan yang begitu menakjubkan sehingga sebagai perbandingan, harta sepuhan Eldorado terlihat murahan,” tulis Milton.
Kedatangan armada Lancaster di London pada September 1603 menandai kesuksesan pelayaran pertama EIC. Pelayaran berikutnya pun dipersiapkan. Namun kali ini tantangan lebih besar menghadang: Kongsi Dagang Belanda (VOC) telah tiba di Hindia Timur dan menggunakan berbagai cara demi memenuhi ambisi memonopoli rempah-rempah.
Perang Inggris-Belanda
Ketika armada EIC pimpinan William Keeling tiba di Banda, VOC menyambutnya dengan permainan harga. VOC juga menekan penduduk lokal agar menjual lada kepada EIC dengan harga tinggi. Tapi hal itu tak menghentikan aktivitas EIC. Terlebih penguasa lokal dan penduduk, yang muak dengan keangkuhan VOC, bersedia secara diam-diam membuat kesepakatan dengan EIC.
Kesepakatan itu menyulut kemarahan VOC. Di bawah pimpinan Peter Verhoef, VOC mendesak para penguasa lokal mematuhi perjanjian-perjanjian yang telah dibuat. Verhoef juga menyatakan diri sebagai musuh bersama penguasa-penguasa lokal untuk menunjukkan kedigdayaan VOC. Arogansi tersebut dibayar mahal: Verhoef menemui ajal, yang menurut sumber Belanda dibuat dengan campur tangan EIC.
VOC segera melakukan tindak balasan. Di Banda Neira, desa-desa dibakar, kapal-kapal dihancurkan, dan orang-orang pribumi dibantai. Inggris juga kena getahnya. Simon Hoen, yang menggantikan Verhoef, mengirim surat pengusiran dari Kepulauan Banda. “Inilah awal dari ‘perang antara Inggris dan Belanda’,” tulis Milton.
EIC tak mau menuruti perintah VOC. Armada David Middleton, yang tiba kemudian dan memilih Pulau Ai sebagai basisnya, tetap berniaga rempah-rempah dengan penduduk lokal. EIC juga memprovokasi orang-orang setempat melawan VOC. Setiap serdadu VOC yang keluar Benteng Nassau, dibantai. VOC membalas lebih kejam.
Pada Natal tahun 1616, petualang Inggris (dan karyawan EIC) Nathaniel Courthope turun ke darat dan membujuk penduduk lokal untuk memberinya monopoli eksklusif atas pala panen tahunan mereka. Isi perjanjian yang ditandatangani dengan kepala suku setempat bahkan jauh lebih luas: menyerahkan Pulau Run dan Ai ke Inggris.
Kendati VOC akhirnya menggenggam sebagian besar Hindia Timur, termasuk Banda, Pulau Run tetap berada di bawah kendali Inggris. Dianggap duri dalam daging, VOC mengepung Courthope dan awak EIC. Belanda akhirnya menguasai Run dan membunuh Courthope.
Inggris terpaksa menyingkir ke beberapa tempat seperti Penang atau Singapura. Sebagai balasan atas kerugian di Pulau Run, Inggris menyerang dan menguasai Manhattan, pulau yang dikuasai Belanda, di Nieuw Amsterdam (kini, New York).
Sejak 1611, upaya damai diusahakan London maupun Amsterdam namun berujung buntu. Melalui Perjanjian Breda tahun 1667 konflik kedua kongsi dagang itu pun berhenti. Salah satu poin penting perjanjian tersebut adalah pertukaran Pulau Run dengan Pulau Manhattan. Inggris mendapatkan Manhattan sebagai ganti kehilangan atas Run.
Kini, Pulau Run seolah terlupakan, bahkan banyak orang Indonesia sendiri tak mengetahuinya. Ia tetap pulau kecil yang tertinggal dan miskin. Kontras dengan Manhattan, yang menjadi salah satu kota terbesar di dunia.
Petualangan Puja-Puji
Buku ini adalah terjemahan dari karya Giles Milton, seorang penulis dan jurnalis, berjudul Nathaniel’s Nutmeg, terbit tahun 1999. Judul versi Inggrisnya memang tak sesuai isi. Nathaniel Courthope bukanlah fokus utama buku ini; ia hanya menempati sekira 10 persen dari isi buku, terutama di bagian akhir. Mungkin Milton ingin menekankan kontribusi Nathaniel yang membuat Inggris sempat menguasai Pulau Run. Dengan judul itu pula Milton tetap dikenal sebagai penulis yang mengkhususkan diri pada kisah para petualang Inggris. Tetap saja judul yang dipakai untuk terjemahan Indonesia rasanya lebih tepat.
Untuk menulis buku ini, Milton mengandalkan bahan-bahan jurnal, biografi, dan karya ilmiah lainnya. Kendati demikian, dia menyuguhkan perburuan dan perebutan rempah-rempah itu dengan gaya bertutur sehingga enak dibaca. Sentuhan naratif yang kuat dan plot yang tak melulu kronologis membuat kisah ini semenarik novel-novel petualangan.
Milton juga kerap mengambil objek kecil yang menciptakan efek global. Dampaknya, dia kerap terjebak untuk melakukan glorifikasi. Hal ini disorot Nicholas Lezard, jurnalis The Guardian. Misalnya, betapapun berani dan keras perjuangan Nathaniel Courthope dalam memburu rempah-rempah, apakah benar dia mengubah sejarah dunia? Contoh lainnya, Milton menyebut harga pala di Inggris kala itu melonjak 60 ribu persen dari harga di tempat asalnya.
Tiada gading yang tak retak. Bagaimanapun, buku ini menarik untuk kita mengetahui arti penting pala dan Pulau Run pada suatu kurun sejarah dunia. Milton tak hanya sukses menyuguhkan informasi sejarah melalui buku ini, tapi juga menghibur.