Sebuah penelitian mengungkap bagaimana seseorang dapat berlaku kejam terhadap orang lain hanya karena mematuhi suatu perintah. Temuan ini bukan yang pertama setelah di tahun 1960, Stanley Milgram, seorang profesor psikologi mencari tahu sampai sejauh mana orang-orang akan mematuhi figur otoritas ketika disuruh untuk melakukan hal yang berlawanan dengan hati nurani dan membahayakan.
Namun, penelitian yang diterbitkan di jurnal NeuroImage ini, lebih jauh mengamati terkait aktivitas dari daerah otak tertentu selama tindakan kekejaman dan eksekusi berlangsung. Ketika seseorang mematuhi suatu perintah, maka otak yang terkait dengan empati dan rasa bersalah menjadi kurang aktif. Bagian otak yang mampu menggambarkan rasa sakit dan penderitaan orang lain pada diri kita sendiri. Dengan kata lain, seseorang akan menjadi kurang berempati ketika mematuhi suatu perintah. Ini mungkin menjelaskan mengapa orang dapat melakukan tindakan amoral di bawah paksaan.
“Kami ingin memahami mengapa mematuhi perintah sangat memengaruhi perilaku moral. Mengapa kesanggupan seseorang untuk melakukan pelanggaran moral berubah dalam situasi yang dipaksakan”, kata Dr. Emilie Caspar, salah satu penulis utama penelitian ini.
Dalam percobaannya, para peneliti dari Institut Belanda untuk Ilmu Saraf melibatkan 20 pasangan relawan. Setiap pasangan terdiri dari sosok yang disebut sebagai ‘agen’ dan ‘korban’. Bagi mereka yang memerankan agen, sesekali bisa memutuskan suatu tindakan bebas apakah memutuskan untuk memberikan kejutan listrik atau tidak terhadap sosok korban pasangannya. Namun, sang agen kadang diselingi oleh suatu perintah untuk menyengat listrik – sedikit menyakitkan – pada korban dan mendapatkan uang sebagai imbalan atas tindakannya itu.
Selama pengujian ini, sang agen, otaknya terhubung dengan pemindai, sehingga dapat diketahui aktivitas seluruh bagian dari otaknya. Terutama ketika mendapatkan suatu instruksi. Tugas ini dirancang untuk melibatkan keputusan moral yang sulit bagi para agen: meningkatkan keuntungan moneter sendiri dengan menyebabkan penderitaan bagi orang lain atau tidak.
Hasil dari pengukuran terhadap aktivitas otak menunjukkan bahwa bagian otak yang memungkinkan kita untuk merasakan empati dan rasa bersalah menjadi kurang aktivitasnya saat mematuhi suatu perintah. Akibatnya, agen kurang dapat mengidentifikasi rasa sakit yang dialami oleh korban saat memberikan sengatan listrik atas perintah.
Para penulis mengamati bahwa para agen lebih sering menyengat korban ketika mereka diinstruksikan secara paksa daripada ketika mereka memutuskan secara bebas. “Hasil neuroimaging menunjukkan bahwa daerah otak yang terkait empati menjadi kurang aktif saat mematuhi perintah dibandingkan dengan bertindak bebas. Kami juga mengamati bahwa mematuhi perintah mengurangi aktivasi di daerah otak yang terkait dengan perasaan bersalah,” jelas Kalliopi Ioumpa , salah satu penulis utama penelitian ini.
“Kita dapat mengukur empati itu di otak, karena kita melihat bahwa daerah yang biasanya terlibat dalam merasakan sakit kita sendiri, termasuk insula anterior dan korteks rostral cingulate, menjadi aktif ketika kita menyaksikan rasa sakit orang lain, dan semakin kuat aktivitas itu, semakin banyak empati yang kita alami, dan semakin banyak yang kita lakukan untuk mencegah bahaya bagi orang lain ”, kata Dr Valeria Gazzola rekan penulis senior penelitian ini.
“Kami mengevaluasi dalam penelitian ini jika mematuhi perintah untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain akan mengurangi respons empatik dibandingkan dengan bebas memutuskan untuk menimbulkan – atau tidak menimbulkan – rasa sakit yang sama”, kata Christian Keysers, penulis senior lainnya dari penelitian ini.
Banyak contoh dalam sejarah umat manusia telah menunjukkan bahwa ketika orang mematuhi perintah dari otoritas, mereka mampu melakukan tindakan kejam terhadap orang lain. Semua genosida yang diketahui umat manusia, umumnya disebut sebagai kejahatan atas nama kepatuhan dan ketaatan.
Ketika manusia menyaksikan orang lain mengalami rasa sakit, baik itu emosional atau fisik, mereka memiliki reaksi empati, dan inilah yang membuat kita enggan menyakiti orang lain. Proses ini tertanam kuat dalam biologi kita dan juga terjadi pada mamalia lain, seperti hewan pengerat atau kera.
Hasil ini memiliki implikasi yang sangat besar dalam hal memahami kekuatan kepatuhan atas perilaku manusia dan menawarkan wawasan baru tentang kemungkinan mencegah kekejaman massal yang dilakukan karena kurangnya empati terhadap para korban.