BAGIKAN
[Free-Photos/ Pixabay]

Pada konsentrasi karbon dioksida atmosfer (CO2) yang cukup tinggi, Bumi dapat mencapai titik kritis di mana awan stratus lautan menjadi tidak stabil dan menghilang, memicu lonjakan pemanasan global, menurut sebuah studi pemodelan dari California Institute of Technology.

Peristiwa ini, yang dapat meningkatkan suhu permukaan sekitar 8 derajat Celcius secara global, dapat terjadi pada konsentrasi CO2 di atas 1.200 ppm, menurut penelitian yang diterbitkan dalam Nature Geoscience. Sebagai referensi, konsentrasi saat ini adalah di atas sekitar 410 ppm. Jika dunia terus membakar bahan bakar fosil pada tingkat saat ini, tingkat CO2 Bumi bisa meningkat di atas 1.200 ppm pada abad berikutnya.

Peneliti utama, Tapio Schneider, seorang ilmuwan iklim di Caltech, penulis utama studi ini, mencatat bahwa ambang batas 1.200 ppm adalah perkiraan kasar.

Studi ini dapat membantu memecahkan misteri lama dalam paleoklimatologi. Catatan geologis menunjukkan bahwa selama Eosen (sekitar 50 juta tahun yang lalu), Arktik bebas dari salju dan merupakan rumah bagi buaya. Namun, menurut model iklim yang telah ada, kandungan CO2 perlu meningkat di atas 4.000 ppm untuk memanaskan planet ini sehingga cukup membuat Arktik menjadi lebih hangat. Ini lebih dari dua kali lebih tinggi dari konsentrasi CO2 yang mungkin selama periode waktu ini. Namun, lonjakan pemanasan yang disebabkan oleh hilangnya awan stratus dapat menjelaskan penampilan iklim rumah kaca Eosen (skala waktu geologi yang berlangsung 55,8 ± 0,2 hingga 33,9 ± 0,1 juta tahun yang lalu).

Permukaan atas awan Stratus menutupi sekitar 20 persen lautan subtropis dan lazim di bagian timur lautan itu. Awan ini cukup dingin dan dapat menaungi bumi saat memantulkan kembali ke angkasa sinar matahari yang menerpanya. Sehingga penting untuk mengatur suhu permukaan bumi. Masalahnya adalah bahwa gerakan udara yang bergejolak yang menopang awan ini terlalu kecil untuk dapat diselesaikan dalam sebuah model iklim global.

Untuk menghindari ketidakmampuan menyelesaikan awan pada skala global, Schneider dan rekan penulisnya, Colleen Kaul dan Kyle Pressel dari Pacific Northwest National Laboratory, menciptakan sebuah model skala kecil dari bagian atmosfer yang representatif di atas lautan subtropis, mensimulasikan awan dan gerakan yang bergejolaknya di atas samudera ini melalui sebuah superkomputer. Mereka mengamati ketidakstabilan permukaan atas awan diikuti oleh lonjakan pemanasan ketika kandungan CO2 melebihi 1.200 ppm. Para peneliti juga menemukan bahwa begitu permukaan atas awan menghilang, mereka tidak muncul kembali hingga kandungan CO2 turun ke tingkat yang secara substansial di bawah di mana ketidakstabilan pertama kali terjadi.

“Penelitian ini menunjuk pada titik buta dalam pemodelan iklim,” kata Schneider, yang saat ini memimpin konsorsium yang disebut Aliansi Pemodelan Iklim (CliMA) dalam upaya membangun model iklim baru. CliMA akan menggunakan asimilasi data dan alat pembelajaran mesin untuk memadukan pengamatan Bumi dan simulasi resolusi tinggi ke dalam model yang mewakili awan dan fitur skala kecil penting lainnya yang lebih baik daripada model yang telah ada. Salah satu penggunaan model baru ini adalah untuk menentukan lebih tepatnya tingkat CO2 di mana ketidakstabilan permukaan atas awan dapat terjadi.