BAGIKAN
(Credit: NASA, ESA and G. Bacon (STScI))

Berdasarkan asumsi populer, Bumi mendapatkan airnya dari sebuah asteroid es raksasa yang telah menghantam planet ini. Namun, sebuah peneltian menunjukkan bahwa air mungkin telah hadir sejak awal selama pembentukan sebuah planet. Dan, itu berlaku bagi planet-planet yang ada di tata surya seperti Bumi, Venus dan Mars.

Keberadaan air dalam sebuah planet bisa menjadi petunjuk tentang keberadaan suatu kehidupan. Lokasinya yang berada di zona layak huni, di mana jarak ideal dari bintangnya akan memungkinkan air tetap mencair.

Melalui pemodelan komputer para peneliti telah menghitung seberapa cepat sebuah planet terbentuk, dan bahan apa saja yang dapat menjadi penyusunnya. Studi ini telah diterbitkan di jurnal Science Advances.

Sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, partikel-partikel debu dari es dan karbon mengorbit di sekitar semua bintang-bintang yang baru terbentuk di Bima Sakti. Bahan-bahan ini adalah kerikil berukuran milimiter yang berlimpah dalam cakram protoplanet di sekitar bintang yang baru saja terbentuk.

“Semua data-data kami menunjukkan bahwa air adalah bagian dari penyusun Bumi, sejak awal,” kata pemimpin penelitian Profesor Anders Johansen dari Center for Star and Planet Formation.

“Dan karena molekul air sering muncul, ada kemungkinan yang masuk akal bahwa itu juga berlaku untuk semua planet di Bima Sakti. Poin yang menentukan apakah air dalam bentuk cair dapat hadir adalah, jarak planet dari bintangnya,”

Para peneliti menyebut teorinya ini sebagai ‘pebble accretion’, yang menyatakan bahwa planet-planet dibentuk oleh sekumpulan kerikil yang menyatu. Seiring waktu, ini akan membentuk planetesimal. Yaitu, objek angkasa berukuran kecil yang terbentuk selama penciptaan planet. Planetesimal tersebut kemudian tumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi sebuah planet. Misalnya, chondrule berukuran milimeter yang ditemukan dalam meteorit purba kemungkinan besar mewakili kerikil yang terbentuk di sekitar Matahari yang masih bayi.

“Kami mulai dengan mengidentifikasi air dari garis beku sebagai lokasi yang paling mungkin untuk pembentukan planetesimal generasi pertama yang bertindak sebagai benih untuk pertambahan kerikil di cakram protoplanet tata surya,” tulis para peneliti.

Anders Johansen menjelaskan bahwa molekul H2O air ditemukan begitu melimpah di galaksi Bima Sakti. Oleh karena itu, teori pertambahan kerikil tersebut membuka kemungkinan bahwa planet seperti Bumi, Mars, dan Venus, telah terbentuk dengan cara yang sama.

“Sampai titik di mana Bumi telah tumbuh menjadi satu persen dari massa saat ini, planet kita ini tumbuh dengan menangkap massa kerikil yang terdiri dari es dan karbon. Bumi kemudian tumbuh semakin cepat hingga, setelah lima juta tahun, ia menjadi sebesar kita ketahui hari ini.”

Saat jumlah energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang menurun seiring waktu, garis beku bergerak ke dalam wilayah pembentukan sebuah planet. Ini jelas berimplikasi pada penyaluran air terhadap planet terestrial, yang terbentuk oleh pertambahan kerikil.

“Selama pembentukannya, suhu di permukaan meningkat tajam, menyebabkan es di dalam kerikil menguap selama perjalanannya turun ke permukaan sehingga, saat ini, hanya 0,1 persen planet ini yang terdiri dari air, meskipun 70 persen permukaan bumi tertutup oleh air,” kata Anders Johansen.

“Semua planet di Bima Sakti mungkin dibentuk oleh blok bangunan yang sama, yang berarti bahwa planet dengan jumlah air dan karbon yang sama dengan Bumi — dan dengan demikian menjadi tempat yang potensial di mana kehidupan mungkin ada — adalah sesuatu yang umum di sekitar bintang lainnya di galaksi kita, asalkan suhunya tepat,” katanya.

Jika planet-planet di Bima Sakti memang telah terbentuk dari bahan-bahan dan kondisi suhu yang sama seperti Bumi, maka akan ada peluang bahwa planet-planet tersebut mungkin memiliki benua dan jumlah air yang diperkirakan sama dengan Bumi.

“Dengan model kami, semua planet mendapatkan jumlah air yang sama, dan ini menunjukkan bahwa planet lain mungkin tidak hanya memiliki jumlah air dan lautan yang sama, tetapi juga jumlah benua yang sama seperti di Bumi. Ini memberikan peluang bagus bagi munculnya kehidupan,” kata Profesor Martin Bizzarro, rekan penulis studi tersebut.

Sebaliknya, jika jumlah air yang terdapat di sebuah planet terjadi secara acak, maka planet tersebut mungkin akan terlihat sangat berbeda. Sebagian planet akan terlalu kering untuk mengembangkan kehidupan, sementara yang lainnya akan tertutupi oleh air sepenuhnya.

“Planet yang tertutup air tentu saja bagus untuk makhluk laut, tetapi akan menawarkan kondisi yang kurang ideal untuk pembentukan suatu peradaban yang dapat mengamati alam semesta,” kata Anders Johansen.