BAGIKAN
(Xiaocong Guo/Chinese Academy of Sciences)

Kemampuan berjalan tegak dengan dua kaki adalah salah satu ciri khas yang membedakan manusia dengan kerabat terdekat kita, kera besar dan nenek moyang purba. Sayangnya, bukti fisik mengenai transisi ini sangat langka. Dengan begitu banyak kemungkinan bagaimana proses ini terjadi, sulit untuk memastikan bagaimana anatomi dan fungsi mekanis kita berevolusi.

Sebuah studi baru tentang telinga bagian dalam kera purba menunjukkan bahwa evolusi bipedalisme manusia bukanlah perubahan mendadak, melainkan proses tiga langkah yang menjembatani celah antara berayun di pohon dan berdiri tegak di atas tanah.

Bukti baru ini berasal dari tengkorak Lufengpithecus, kera yang hidup di Asia Timur sekitar 6 juta tahun lalu.

Beberapa ciri gigi Lufengpithecus menunjukkan bahwa itu adalah nenek moyang primitif orangutan modern, yang memanjat di kanopi pohon. Namun, analisis lain dari tengkoraknya menempatkan Lufengpithecus lebih dekat dengan kera Afrika, seperti gorila dan simpanse, yang dikenal dengan berjalan dengan buku jari mereka.

Ketidakjelasan inilah yang membuat Lufengpithecus menarik untuk dipelajari, terutama karena catatan fosil yang tidak lengkap membuat para ilmuwan kesulitan menyusun urutan bagaimana manusia purba mulai berjalan.

Dalam studi baru mereka, Yinan Zhang, mahasiswa doktoral paleontologi di Akademi Ilmu Pengetahuan China, dan rekan-rekannya mengintip ke dalam telinga Lufengpithecus. Ini mungkin tampak seperti tempat yang aneh untuk mencari bukti bagaimana makhluk yang sudah lama punah ini bergerak.

Para ilmuwan telah mengetahui peran penting sistem vestibular dalam mempelajari bagaimana manusia purba dan kerabat kita bergerak sejak setidaknya tahun 1994. Saat itu, ahli anatomi Belanda Fred Spoor dan rekan-rekannya memindai tulang telinga bagian dalam lebih dari 150 primata hidup dan punah.

Sistem vestibular di telinga bagian dalam, dengan tiga kanal setengah lingkaran yang melingkar, mengirimkan informasi ke otak tentang posisi dan gerakan hewan di ruang angkasa. Kanal-kanal ini diisi dengan cairan dan rambut halus yang merasakan gerakan, membantu menjaga keseimbangan.

“Ukuran dan bentuk kanal setengah lingkaran berhubungan dengan bagaimana mamalia, termasuk kera dan manusia, bergerak di lingkungan mereka,” jelas Zhang, penulis pertama studi ini.

Zhang dan rekan-rekannya secara digital memindai tiga fosil Lufengpithecus yang digali di Cina selatan pada 1970-an dan 1980-an. Labirin tulang telinga bagian dalam fosil-fosil ini terawetkan dengan baik meskipun bagian lain dari tengkorak hancur.

Labirin tulang telinga bagian dalam terdiri dari tiga kanal setengah lingkaran di satu ujung, koklea berbentuk spiral di ujung lainnya, dan ruang depan pusat di antaranya.

“Dengan menggunakan teknologi pencitraan modern, kami dapat memvisualisasikan struktur internal tengkorak fosil dan mempelajari detail anatomi kanal setengah lingkaran untuk mengungkapkan bagaimana mamalia yang sudah punah bergerak,” kata Zhang.

Dengan membandingkan ukuran dan bentuk telinga bagian dalam Lufengpithecus dengan kera yang sudah punah dan masih hidup, termasuk manusia, dan nenek moyang manusia purba seperti Australopithecus, para peneliti dapat mengumpulkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana nenek moyang manusia purba mulai berjalan.

“Studi kami menunjukkan evolusi bipedalisme manusia dalam tiga langkah,” jelas Terry Harrison, penulis senior studi ini dan antropolog dari Universitas New York.

Sebelum Lufengpithecus, kera purba berpindah dari cabang ke cabang hanya dengan mengandalkan lengan mereka, seperti yang dilakukan gibon saat ini, kata Harrison.

Kemudian, Lufengpithecus muncul, mewakili sosok perantara yang memanjat, merayap, dan berayun di pohon sambil juga bergerak menggunakan keempat anggota tubuhnya di tanah, dan menggunakan dua anggota tubuhnya saat berpegangan pada cabang.

Analisis menunjukkan bahwa Lufengpithecus sangat mirip dengan cara nenek moyang terakhir kera dan manusia bergerak, dan dari campuran gerakan inilah bipedalisme manusia akhirnya berkembang.

Kesimpulan ini sesuai dengan temuan sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa bipedalisme muncul secara bertahap, dengan nenek moyang kita menjaga keseimbangan di pohon dan cabang sambil perlahan-lahan mulai berjalan tegak.

“Meskipun manusia mengembangkan bipedalisme selama sejarah evolusi mereka, kita berasal dari kelompok primata yang sangat tidak biasa yang mengembangkan cara unik untuk bergerak di lingkungan mereka,” kata Harrison kepada Laura Baisas di Popular Science. “Jadi, kita adalah sebuah keunikan.”

Studi ini telah dipublikasikan di The Innovation.