Seperti galaksi -galaksi lainnya di semesta yang memiliki bentuk spiral, galaksi Bima Sakti terdiri dari dua buah struktur yang berbentuk cakram, cakram tipis dan cakram tebal. Cakram tebal, yang menyelubungi cakram tipis, terdiri dari 20 persen dari keseluruhan bintang yang ada di galaksi Bima Sakti dan diperkirakan berusia lebih tua dari dari kedua struktur galaksi tersebut berdasarkan metalisitas dari bintang-bintang tersebut dan bentuknya yang semakin mengembang.
Hasil sebuah penelitian terbaru, oleh sebuah tim yang terdiri dari 38 orang ilmuwan yang dipimpin oleh para peneliti dari ARC Center of Excellence for All Sky Astrophysics in Three Dimension (ASTRO-3D) di Australia, yang mengolah data yang didapat dari misi Kepler untuk mengukur starquake atau gempa bintang (semburan radiasi dari bintang Neutron yang terbuka) pada bagian cakram galaksi Bima Sakti.
Dari data tersebut, para ilmuwan telah merevisi umur dari bagian cakram tebal dari galaksi Bima Sakti, yang diperkirakan berusia 10 milyar tahun.
Hasil studi ini telah dipublikasikan pada sebuah artikel ilmiah dalam the Monthly Notices of the Royal Astronomical Society. Tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Sanjib Sharma dari the Sidney Institute for Astronomy dan ARC Centre of Excellence for All Sky Astrophysics in Three Dimensions (ASTRO-3D) termasuk didalamnya peneliti dari berbagai universitas dan institut penelitian.
Untuk menentukan umur dari bagian cakram tebal galaksi Bima Sakti, Dr. Sharma dan tim menggunakan metode yang dikenal dengan asteroseismology. Metode ini mengukur osilasi bintang-bintang yang disebabkan oleh peristiwa gempa bintang, dimana kerak dari bintang mengalami perubahan akibat peristiwa tersebut, mirip dengan gempa bumi.
Proses ini memungkinkan para peneliti untuk melakukan “arkeologi galaksi”, dimana mereka bisa melihat jauh ke belakang ketika galaksi Bima Sakti terbentuk (lebih dari 13 miliar tahun yang lalu).
Dennis Stello, seorang professor dari the university of New South Wales yang juga penulis kedua dari artikel ilmiah ini, menjelaskan:
“Gempa yang terjadi pada bintang menghasilkan gelombang suara dari dalam bintang-bintang dan membentuk cincin disekitarnya, atau juga getaran. Dari frekuensi yang dihasilkan pada peristiwa tersebut, para ilmuwan bisa mengetahui kondisi dari bintang-bintang tersebut, termasuk juga usianya. Sama seperti mengidentifikasi sebuah biola adalah buatan Stradivarius ketika mendengar suara yang dihasilkan.”
Sangat penting untuk dicatat bahwa para astronom belum bisa mendeteksi “suara” sebenarnya yang berasal dari bintang-bintang tersebut. Mereka mengukur gerakan pada bagian interior bintang berdasarkan perubahan kecerahan dari bintang.
Sebelumya, diketahui bahwa hasil pengamatan dari satelit angkasa Kepler tidak sesuai dengan model struktur galaksi Bima sakti yang ada, yang memperkirakan pada bagian cakram tebal terdapat bintang-bintang dengan massa yang lebih kecil.
Hingga kini, belum diketahui secara pasti apakah ketidaksesuaian ini disebabkan oleh tidak akurasinya model galaksi yang ada, atau adanya masalah pada penentuan kriteria dari bintang-bintang. Dan dari hasil pengolahan data satelit angkasa Kepler, Sharma dan rekan peneliti menemukan bahwa penyebabnya adalah ketidakakuratan model galaksi yang ada.
Pada dasarnya, model galaksi yang ada mengasumsikan bahwa pada bagian cakram tebal galaksi terdapat bintang-bintang yang memiliki massa yang kecil, juga memiliki metalisitas yang kecil.
Dari hasil pengolahan data misi K2 dan melakukan analisis spektroskopi, Dr. Sharma dan tim peneliti menetapkan bahwa komposisi kimia yang ada pada model galaksi yang ada adalah tidak benar, hal ini juga menyebabkan ketidakakuratan penentuan usia dari galaksi. Dengan melakukan perhitungan ulang, Dr, Sharma dan tim peneliti menyesuaikan data asteroseismeik dengan model galaksi baru.
Dr Sharma menjelaskan:
“Penemuan ini berhasil mengungkap misteri… Sebelumnya, data umur dari bintang-bintang yang ada pada cakram galaksi tidaklah sesuai dengan model galaksi yang ada, tetapi tidak ada yang bisa menemukan dimana letak kesalahannya, pada data atau pada model. Sekarang kami sangat yakin telah menemukannya.”
Sejak diluncurkan pada tahun 2009, dari data yang dikumpulkan oleh satelit angkasa Keppler menunjukkan bahwa ada lebih banyak bintang-bintang yang berusia lebih muda pada bagian cakram tebal galaksi dari yang diperkirakan pada model galaksi sebelumnya. Model sebelumnya tidak dirancang untuk melakukan analisa dengan metode astroarkeologi, yang mengukur perubahan kecerahan bintang-bintang yang bisa digunakan untuk mengukur kejadian gempa bintang.
“Bintang-bintang adalah benda langit berbentuk bola yang sebagian besar komposisinya adalah gas, dan getaran yang dihasilkannya sangatlah kecil, jadi kami sangat berhati-hati dalam mengamatinya,” kata Sharma. Kepler mampu mengukur kecerahan bintang-bintang tersebut secara sempurna. Teleskop angkasa ini sangatlah sensitif, mampu mendeteksi berkurangnya kecerahan sebuah lampu mobil ketika seekor kutu kecil berjalan melewatinya.”
Hasil analisis data ini nantinya akan digabungkan dengan hasil pengumpulan data teleskop Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS) milik NASA, yang diluncurkan ke angkasa tujuh bulan setelah Kepler ‘pensiun’ dari tugasnya. Informasi ini diharapkan akan menyempurnakan lagi perkiraan umur bintang-bintang di dalam cakram galaksi dan akan membantu para astronom untuk lebih memahami formasi dan evolusi dari galaksi Bima Sakti.