BAGIKAN
(Michèle Hilbers/Unsplash)
(Michèle Hilbers/Unsplash)

Para peneliti dari National Institutes of Health (NIH) mengamati kerusakan otak para pasien yang meninggal dunia tak lama setelah tertular COVID-19. Mereka menunjukkan bahwa virus tersebut dapat memicu peradangan di otak yang akan merusak pembuluh darah dan menimbulkan kebocorannya.

Anehnya, mereka tidak menemukan keberadaan SARS-CoV-2 pada sampel jaringan yang rusak tersebut. Ini menunjukkan bahwa kerusakannya tidak disebabkan oleh serangan virus secara langsung terhadap otak. Hasil penelitiannya telah dipublikasikan di New England Journal of Medicine.

“Kami menemukan bahwa otak pasien yang tertular infeksi SARS-CoV-2 mungkin rentan terhadap kerusakan pembuluh darah mikrovaskular. Hasil kami menunjukkan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh respons inflamasi tubuh terhadap virus” kata penulis senior Avindra Nath, MD, Ia adalah seorang direktur klinis di National Institute of Neurological Disorders and Stroke NIH.

Meskipun COVID-19 pada dasarnya adalah penyakit pernapasan, penderitanya sering mengalami permasalahan di otak. Seperti sakit kepala, delirium, disfungsi kognitif, pusing, kelelahan, dan kehilangan indra penciuman. Penyakit ini juga dapat menyebabkan pasien menderita stroke dan neuropatologi lainnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit tersebut dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan pembuluh darah. Dalam salah satu studi ini, para peneliti menemukan bukti sejumlah kecil SARS-CoV-2 di otak beberapa pasien. Meski demikian, para ilmuwan masih mencoba memahami bagaimana penyakit tersebut memengaruhi otak.

Dalam penelitian ini, para peneliti melakukan pemeriksaan  terhadap sampel jaringan otak dari 19 pasien yang meninggal dunia setelah mengalami COVID-19. Usia mereka berkisar dari 5 hingga 73 tahun. Mereka meninggal setelah melaporkan gejala COVID-19, dalam beberapa jam hingga dua bulan. Banyak pasien memiliki satu hingga beberapa faktor risiko. Termasuk diabetes, obesitas, dan penyakit kardiovaskular. Tiga pasien di antaranya  pingsan dan meninggal mendadak.

Para peneliti menggunakan pemindai MRI khusus berkekuatan sangat tinggi, yang jauh lebih sensitif dibandingkan pemindai MRI umumnya. Dengan pemindai ini mereka memeriksa sampel bulbus olfaktorius dan batang otak dari setiap pasien. Daerah-daerah ini dianggap sangat rentan terhadap COVID-19.

Bulbus olfaktorius mengontrol indera penciuman kita sementara batang otak mengontrol pernapasan dan detak jantung kita. Pemindaian menunjukkan bahwa kedua area tersebut memiliki banyak bintik-bintik yang berbeda. Bintik terang dan bintik gelap. Bintik terang ini disebut sebagai hiperintensitas. Umumnya, mengindikasikan adanya peradangan atau inflamasi. Sementara bintik hitam, yang disebut hipointensitas, menunjukkan pendarahan.

Bintik terang dan gelap yang merupakan indikasi kerusakan pembuluh darah (Credit : NIH / NINDS)
Bintik terang dan gelap yang merupakan indikasi kerusakan pembuluh darah (Credit : NIH / NINDS)

Pengamatan lebih lanjut menemukan bahwa titik terang berisi pembuluh darah yang lebih tipis dari biasanya. Dan terkadang membocorkan protein darah menuju otak. Ini tampaknya memicu reaksi kekebalan. Bintik-bintik itu dikelilingi oleh sel T dari darah dan sel kekebalan otak sendiri yang disebut mikroglia. Sebaliknya, bintik hitam mengandung pembuluh darah yang membeku dan bocor tetapi tidak ada respons dari kekebalan.

“Kami sangat terkejut. Awalnya, kami mengira melihat kerusakan yang disebabkan oleh kekurangan oksigen. Sebaliknya, kami melihat area kerusakan multifokal yang biasanya dikaitkan dengan stroke dan penyakit peradangan saraf,” kata Dr. Nath.

Para peneliti menyimpulkan bahwa mereka tidak melihat tanda-tanda infeksi pada sampel jaringan otak. Untuk meyakinkannya, mereka bahkan menggunakan beberapa metode untuk mendeteksi keberadaan materi genetik atau protein dari SARS-CoV-2.

“Sejauh ini, hasil kami menunjukkan bahwa kerusakan yang kami lihat mungkin bukan disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang secara langsung menginfeksi otak,” kata Dr. Nath menyimpulkan.