BAGIKAN
Partikel-partikel virus CAVID-19 (kuning) yang menginfeksi sel-sel manusia (merah) (NIAID).

Ketika untuk pertama kalinya obat HIV ditemukan, terbukti dapat memulihkan kondisi pasien yang kritis akibat penyakit ini. Tetapi, ketika para ilmuwan terus berusaha mengembangkan jenis obat terbaru untuk mengobati para pasien penyakit tersebut, seakan keampuhan obat tersebut hanya berlaku sesaat saja. Dan faktanya, pada setiap pasien HIV-AIDS, obat terbaru untuk mereka hanya bekerja sesaat saja.

Awalnya, obat-obatan tersebut mampu membunuh virus, tetapi virus tersebut ternyata lebih lihai dan mampu mengembangkan kemampuan untuk melawan obat tersebut. Sebuah proses mutasi spontan pada material genetik virus akan mencegah daya kerja dari obat anti virus, sehingga virus yang bermutasi mampu mereplikasi diri lebih cepat dari obat itu sendiri, membuat para pasien kembali jatuh sakit.

Dan dibutuhkan masa satu dekade bagi para ilmuwan untuk menemukan metode pengobatan yang dapat mengalahkan virus yang terus bermutasi.

Apakah hal yang sama juga dapat terjadi pada vaksin COVID-19? Dapatkan vaksin yang telah terbukti aman dan efektif pada trial permulaan kemudian gagal karena virus telah berevolusi untuk melawan vaksin tersebut?

Satu tim peneliti yang terdiri dari ilmuwan bidang mikrobiologi evolusioner yang telah melakukan penelitian pada virus unggas yang mampu bermutasi sehingga menjadi resisten terhadap dua jenis vaksin, berpendapat bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Mereka mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya. Vaksin COVID-19 dapat saja menemui kegagalan untuk memberantas penyebaran virus, tetapi jika kita melakukan langkah-langkah yang tepat, hal tersebut dapat dihindari.

Sejauh ini, manusia selalu unggul ketika bertarung melawan virus; hampir semua vaksin yang diciptakan untuk manusia telah berhasil mengalahkan proses evolusi mikroba.

Sebagai contoh, virus cacar yang telah berhasil diberantas karena virus tersebut tidak dapat berkembang di sekitar vaksin cacar, dan juga tidak ada satupun strain virus campak baru yang dapat mengalahkan daya imunitas yang dibentuk oleh vaksin campak.

Tetapi ada satu pengecualian. Sejenis bakteri penyebab pneumonia ternyata mampu berkembang menjadi resisten terhadap sebuah vaksin. Proses pengembangan jenis vaksin baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta memakan waktu yang lama, dibutuhkan sekitar tujuh tahun sejak kemunculan strain baru yang resisten hingga dikeluarkannya lisensi vaksin baru.

Selama ini, belum pernah terjadi kegagalan lainnya dalam pengembangan vaksin untuk manusia, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus, bakteri dan parasit dalam berkembang atau berevolusi sebagai bentuk respon terhadap vaksin. Salah satu contoh mikroba yang mampu bermutasi dan dapat menangkal daya imunitas yang dibentuk oleh vaksin adalah mikroba penyebab hepatitis B dan pertusis.

Dan untuk penyakit-penyakit lainnya yang menyerang manusia, seperti malaria, trypanosomiasis, influenza dan AIDS, sangat sulit, bahkan tidak mungkin untuk bisa mengembangkan vaksin bagi penyakit-penyakit tersebut karena mikroba-mikroba penyebabnya dapat bermutasi dengan lebih cepat. Dan dalam dunia agrikultur, vaksin untuk hewan yang dikembangkan terbukti dapat mengalahkan kecepatan evolusi viral.

Jika nantinya virus SARS-Cov-2 bermutasi sebagai respon terhadap vaksin COVID-19, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Dan paling nyata terlihat adalah apa yang terjadi pada virus flu.

Daya imunitas tubuh bekerja ketika antibodi atau sel-sel imun mengikatkan dirinya pada molekul-molekul di permukaan virus. Jika terjadi mutasi yang menyebabkan molekul-molekul di permukaan virus berubah, antibodi tidak dapat mengikatkan dirinya dengan kuat pada permukaan virus sehingga virus dapat dengan mudah melarikan diri.

Proses ini dapat menjelaskan mengapa vaksin flu musiman harus selalu diformulasikan kembali setiap tahun. Jika hal ini terjadi pada vaksin COVID-19, maka perlu dilakukan langkah yang sama secara teratur.

Hingga saat ini, ada sekitar 200 kandidat vaksin COVID yang berada dalam berbagai tahapan pengembangan. Masih terlalu dini untuk mengetahui ada berapa di antara vaksin-vaksin tersebut yang terbukti mampu mengalahkan kecepatan mutasi virus. Dan mungkin kita tidak perlu menunggu lama untuk mengetahuinya, dengan melakukan langkah langkah ekstra selama trial vaksin berlangsung, akan terlihat vaksin mana yang terbukti bisa mengalahkan kecepatan evolusi virus.

Dengan melakukan tes swab pada orang-orang yang telah mendapatkan vaksin eksperimental, para ilmuwan dapat mengetahui seberapa besar virus yang terbasmi. Dengan melakukan analisa genom dari virus yang ditemukan pada orang-orang yang telah divaksinasi, akan dapat terlihat terjadinya proses mutasi virus yang sedang terjadi. Dan dengan mengambil darah yang telah diberikan vaksin, para ilmuwan dapat mengetahui ada berapa bagian dari virus yang diserang oleh sel imun yang terbentuk oleh vaksin.

Saat ini, dunia sangat membutuhkan vaksin COVID-19. Dan mungkin saja vaksin yang ada nantinya hanya memberikan ketenangan sementara dan membuat kita semakin rentan. Atau mungkin nantinya beberapa kandidat vaksin akan menemui kegagalan, karena virus ini ternyata mampu bermutasi hingga menjadi kebal terhadap beberapa vaksin sekaligus.


Andrew Read, Evan Pugh University Professor of Biology and Entomology, Eberly Professor of Biotechnology, Director, Huck Institutes of the Life Sciences, Penn State and David Kennedy, Assistant Professor of Biology, Penn State

The Conversation