BAGIKAN
arsitekturindonesia.org
Sebagai seorang Kristiani, Friedrich Silaban mengalami pergulatan batin ketika merancang Masjid Istiqlal, tempat ibadah umat Islam.

Azan subuh belum berkumandang. Kota Bogor masih diliputi kabut. Orang-orang masih menarik selimut rapat-rapat. Namun, dari jendela sebuah rumah di Jalan Gedong Sawah sudah nampak pendar lampu pijar. Friedrich Silaban telah terjaga.

Silaban menyerut pensilnya untuk membuat sketsa gambar masjid untuk diikutkan lomba yang dihelat Yayasan Masjid Istiqlal, sekira tahun 1955. Sayembara dilakukan guna mendapat rancangan masjid yang terbaik. Sayembara dipimpin langsung Presiden Sukarno dengan tim juri antara lain Rooseno, Djuanda, Suwardi, Buya Hamka, Abubakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin.

Dalam membuat rancangan masjid itu, Silaban mempelajari rupa-rupa masjid dari Aceh hingga Madura. Dia ingin menciptakan sebuah masjid yang baru. Namun, sebagai seorang Kristiani, dia mengalami pergulatan batin karena merancang masjid, tempat ibadah umat Islam. Selama membuat sketsa masjid, dia selalu berdoa.




“Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya saya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya,” ujar Poltak Silaban, putra ketiga Silaban, menirukan doa yang selalu diucapkan ayahnya, kepada Historia, (14/6).

Tuhan mengabulkan doa Silaban. Karyanya yang bertajuk “Ketuhanan” dipilih Sukarno. Namun, kemenangan Silaban sempat mengundang perdebatan.

“Memang sempat ada polemik mengenai pemenang sayembara, namun tidak lama. Ya, karena agama papi yang Kristen kok bisa merancang masjid. Tapi di sini hebatnya Sukarno. Saat itu, siapa sih yang berani melawan Sukarno,” ujar Poltak. “Bahkan, kabarnya papi sempat dipeluk oleh Hamka karena karyanya itu.”

Namun, Setiadi Sopandi, penulis buku biografi Friedrich Silaban, tidak yakin terjadi pergulatan batin. Sebab, merancang masjid nasional di pertengahan dekade 1950 merupakan kesempatan emas dalam karier arsitek.

“Yang menarik adalah sayembara masjid nasional di tahun 1954-55 tidak meributkan asal-usul atau agama si perancangnya. Bahkan, pemenang juara ketiga sayembara masjid Istiqlal dimenangkan oleh Han Groenewegen, arsitek asal Belanda yang Kristen,” kata Setiadi.

Penanaman tiang pancang dilakukan pada 1961. Sejak pertama pembangunan, Silaban tak pernah absen. Sejak pagi buta, dia berkendara dari Bogor menuju Jakarta. Dia ingin rumah ibadah itu berdiri dengan sempurna.

Istiqlal belum rampung ketika Sukarno dijatuhkan dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru sempat mencurigai Silaban sebagai komunis atau Sukarnois. “Rumah kami pernah dijaga seorang intel. Lalu pernah pula mau kemana-mana tidak boleh, bahkan membuat KTP dan paspor juga dipersulit. Papi marah disebut PKI atau Nasakom oleh intel tersebut,” ujar Panogu Silaban, putra Silaban yang lain.

Friedrich Silaban (kiri) sedang berbicara dengan Presiden Sukarno. Foto: arsitekturindonesia.org.

Padahal, kata Panogu, Silaban antikomunis. Hal itu terekam dalam percakapannya dengan Sukarno tak lama setelah kampanye Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) pada 1960-an.

“Nasakom Pak? Poros tiga bahan? Kalo di teknik, poros tiga bahan itu rapuh,” ujar Silaban kepada Sukarno.

“Hei Sil, kalo soal teknik, boleh kamu ngomong. Tapi kalo soal politik, ini, presidenmu,” kata Sukarno.




Meski sempat dicurigai, penguasa Orde Baru memilih Silaban sebagai wakil ketua proyek Istiqlal. Dia bercita-cita supaya Istiqlal sudah tuntas sebelum dia meninggal. Pembangunan Masjid Istiqlal memakan waktu 17 tahun dan resmi digunakan pada 22 Februari 1978.

“Pada 1980-an, papi sudah tidak bisa jalan. Namun, dia bersikeras ingin melihat kubah Istiqlal yang baru saja selesai. Maka, dia ditandu oleh para staf keliling melihat setiap jengkal Istiqlal,” ungkap Poltak.

Selain Masjid Istiqlal, karya Silaban yang lain adalah Kantor Perikanan Darat Sempur Kota Bogor, Rumah Dinas Walikota Bogor, Bank Indonesia di Jakarta dan Surabaya, dan Gedung Pola.

“Silaban mampu mengejawantahkan keinginan Sukarno dalam hal rancang bangun. Selain itu, dia dikenal cepat dalam membuat konsep bangunan, sehingga Sukarno merasa cocok dan senang,” ujar Setiadi Sopandi, penulis buku biografi Friedrich Silaban, pada sesela peluncuran bukunya di ruang perpustakaan Sjafruddin Prawiranegara Bank Indonesia, Jakarta Pusat (14/6).

Silaban, salah satu arsitek kesayangan Sukarno, mengembuskan napas terakhirnya pada 14 Mei 1984. Untuk mengenang jasanya, Jalan Gedong Sawah di Kota Bogor diganti menjadi Jalan F. Silaban.