BAGIKAN
Jeswin Thomas

Ada berbagai alasan mengapa orang cenderung tidak menyenangi matematika. Di antaranya karena memerlukan konsentrasi yang tinggi. Namun kemampuan seseorang dalam matematika bisa dipengaruhi oleh tingkat enzim atau neurotransmiter tertentu dalam otaknya, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal PLoS Biology.

Sinyal kimia GABA dan glutamat – yang masing-masing menghambat dan menggairahkan neuron – tampaknya secara langsung memengaruhi kemampuan seseorang dalam perhitungan angka. Selama beberapa dekade kemampuan neurotransmiter ini dalam memengaruhi pembelajaran kompleks, masih kurang dipahami. Untuk mengetahuinya, para peneliti mengukur kadar GABA dan glutamat di otak 255 orang, mulai dari anak-anak berusia enam tahun hingga mahasiswa.

Keseimbangan antara penghambatan dan perangsangan saraf diyakini sangat penting bagi kemampuan seseorang untuk membentuk berbagai koneksi baru di otak. Pada akhirnya ini akan memungkinkan kita untuk mempelajari berbagai informasi baru dan mengembangkan keterampilan. Menurut penulis penelitian, pematangan neuron GABA telah terbukti memicu plastisitas saraf pada anak usia dini, terutama selama “periode sensitif” perkembangan otaknya.

Para peneliti memutuskan untuk fokus secara eksklusif pada wilayah otak yang disebut sulkus intraparietal kiri (IPS), karena penelitian sebelumnya telah menyoroti pentingnya wilayah ini untuk kognisi numerik dan matematika.

Peserta juga menyelesaikan serangkaian tantangan matematika, memungkinkan para peneliti untuk mengevaluasi hubungan antara tingkat neurotransmiter dan kemampuan aritmatikanya.

Hasil menunjukkan bahwa di antara para remaja, semakin tinggi kandungan GABA dalam IPS akan sebanding dengan kemampuannya yang tinggi dalam matematika. Sementara semakin banyak kandungan glutamat, kemahirannya menjadi lebih rendah. Anehnya, hubungan ini tampaknya terbalik di beberapa titik selama perkembangan saraf kita. Orang dewasa dengan konsentrasi GABA yang lebih tinggi cenderung menunjukkan kapasitas yang berkurang untuk matematika, begitupun dengan kandungan glutamatnya.

Peserta kemudian diberikan tes matematika kedua kira-kira 18 bulan kemudian, di mana para peneliti berhasil memprediksi bagaimana kinerja setiap orangnya, hanya dengan mengamati tingkat neurotransmiter (GABA dan glutamat) mereka.

“Perubahan perkembangan dalam hubungan antara GABA dan glutamat dan prestasi akademik menyoroti prinsip plastisitas yang umum dan tidak diketahui… [dan] menunjukkan bahwa hubungan antara plastisitas otak dengan rangsangan dan penghambatan di berbagai tahap tidak mungkin berubah,” kata penulis studi Roi Cohen Kadosh dalam sebuah pernyataan.

“Temuan kami juga memiliki implikasi penting untuk pengembangan program intervensi berbasis otak, yang kami harap dapat diperiksa di masa depan.”

Mengapa dan bagaimana peran kedua neurotransmiter ini menjadi terbalik saat ini tidak diketahui, meskipun penulis penelitian secara tentatif berspekulasi bahwa itu mungkin ada hubungannya dengan cara otak mengubah “strategi pemrosesan” matematisnya seiring bertambahnya usia.

Menurut para peneliti, IPS memainkan peran sentral dalam kognisi numerik selama masa kanak-kanak, oleh karena itu perlu lebih banyak GABA di wilayah ini. Namun, seiring dengan pertumbuhan, ketergantungan kita pada IPS semakin berkurang karena beberapa wilayah di otak seperti hippocampus menjadi semakin relevan.