BAGIKAN

Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa lereng pegunungan yang curam dapat menarik karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Pada saat erosi mengikis lapisan tanah maka batuan di bawahnya menjadi terpapar oleh udara dan terjadilah reaksi kimia antara mineral pada batuan di lereng bukit tetsebut dan CO2 di udara, proses “pelapukan” batuan tersebut menghasilkan mineral karbonat seperti kalsit.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh para peneliti dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) yang ternyata telah memutar balikkan pendapat ini. Dalam makalah yang dirilis pada 12 April di jurnal Science, para ilmuwan mengumumkan bahwa proses erosi juga bisa menjadi sumber gas CO2 baru dan gas tersebut dengan segera dilepaskan kembali ke atmosfer jauh lebih cepat daripada yang diserap oleh batuan yang baru saja terpapar.

“Ini bertentangan dengan hipotesis lama bahwa lebih banyak gunung berarti lebih banyak erosi dan pelapukan, yang berarti pengurangan CO2 tambahan. Hal ini ternyata jauh lebih rumit dari itu,” kata Jordon Hemingway, seorang rekan postdoctoral di Harvard University dan penulis utama dalam makalah tersebut.

Sumber CO2 ekstra ini tidak sepenuhnya berasal dari proses geologis. Sebaliknya, CO2 itu adalah produk sampingan dari mikroba kecil di tanah pegunungan yang “memakan” sumber-sumber karbon organik kuno yang terperangkap di dalam batuan. Ketika mikroba mencerna mineral ini, mereka memuntahkan karbon dioksida.

Para peneliti menyadari hal ini setelah mempelajari salah satu rangkaian pegunungan yang paling rentan terhadap erosi di dunia yaitu wilayah rentang pusat Taiwan. Area yang curam ini dihantam oleh lebih dari tiga topan utama setiap tahun, yang masing-masing secara mekanis mengikis tanah dan batuan melalui hujan lebat dan angin.

Hemingway dan rekan-rekannya memeriksa sampel tanah, batuan dasar, dan sedimen sungai dari daerah sekitar pusat, mencari tanda-tanda karbon organik pada batuan. Apa yang mereka temukan di sana telah mengejutkan mereka.

“Pada bagian paling bawah dari lapisan tanah, umumnya anda akan menemukan batuan yang belum melapuk. Segera setelah sampai pada lapisan dasar tanah ini anda melihat batuan yang longgar tetapi belum sepenuhnya terurai, dan pada titik ini karbon organik yang biasanya terdapat pada lapisan batuan dasar tersebut tampak menghilang sepenuhnya,” tutur Hemingway. Di tahap ini, tim juga memperhatikan adanya peningkatan kadar lipid dalam lapisan tanah yang diketahui berasal dari bakteri, tambahnya.

“Kami belum tahu persis bakteri mana yang melakukan ini , yang memerlukan penelitian lebih lanjut melibatkan tahapan genomik, metagenomik, dan alat mikrobiologi lainnya. Tapi itu langkah selanjutnya untuk penelitian ini,” kata ahli geologi laut WHOI Valier Galy, penulis senior dan penasihat Hemingway dalam Program Bersama MIT / WHOI.

Para peneliti  menemukan bahwa tingkat total CO2 yang dilepaskan oleh mikroba ini tidak cukup parah untuk berdampak langsung terhadap perubahan iklim karena proses ini terjadi pada rentang waktu geologis yang dengan kata lain memerlukan waktu yang sangat lama. Penelitian tim WHOI dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siklus karbon gunung (atau “lithospheric”) benar-benar bekerja, yang dapat membantu menghasilkan petunjuk bagaimana CO2 tersusun sejak Bumi itu sendiri terbentuk.

“Melihat ke belakang, kami sangat tertarik pada bagaimana proses-proses ini berhasil menjaga stabilitas tingkat CO2 di atmosfer selama jutaan tahun. Ini memungkinkan Bumi untuk memiliki iklim dan kondisi yang telah mendorong perkembangan bentuk bentuk kehidupan yang rumit,” kata Hemingway. “Sepanjang sejarah Bumi kita, CO2 telah berfluktuasi dari waktu ke waktu, tetapi tetap di zona stabil. Ini hanya pembaruan mekanisme mekanisme proses geologi yang memungkinkan itu terjadi,” tambahnya.