BAGIKAN
Credit : Jacub Kapusnak /foodiesfeed.com

Bayangkan jika anda bisa mengkonsumsi gula tanpa perlu khawatir akan besarnya kalori yang masuk ke tubuh anda, gula yang hanya mengandung 38 persen dari kalori gula biasa, aman bagi penderita diabetes, dan juga bersahabat dengan gigi anda. Dan yang tidak kalah hebatnya, gula impian ini bukanlah garam pengganti buatan, tetapi benar-benar gula alami dengan rasa yang sama. Untuk anda penggemar rasa manis, pasti anda tidak sabar ingin mencobanya bukan?

Gula ini diberi nama tagatose. Badan pengawasan obat dan makanan AS (FDA) telah memberikan izin edar untuk produk ini sebagai bahan tambahan pada makanan, produk ini dianggap aman bagi kesehatan, dan tidak ada laporan masalah seperti yang ada pada produk-produk pemanis buatan lainnya, seperti adanya rasa logam, atau yang paling serius adalah menjadi penyebab kanker, menurut hasil penelitian dan juga laporan dari FAO/WHO. 

Yang jadi masalah adalah untuk memproduksi tagatose diperlukan biaya yang tidak sedikit. Ketika diekstrak dari buah-buahan dan produk susu, tidak banyak tagatose yang bisa dihasilkan. Pada proses dengan skala besar, diperlukan proses yang panjang untuk merubah galaktosa yang lebih mudah di ekstrak menjadi tagatose, dan proses ini sangat tidak efisien, produk yang dihasilkan hanya mencapai sekitar 30 persen.




Para peneliti dari Tuft University baru-baru ini berhasil mengembangkan sebuah proses sintesis yang bisa membuka potensi komersial dalam memproduksi gula rendah kalori dan rendah kadar glikemik ini. Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan di Nature Communications, asisten Professor Nikhil Nair dan Josef Bober, keduanya dari School of Engineering, berhasil menciptakan inovasi baru untuk memproduksi gula tagatose dengan memanfaatkan bakteri sebagai bioreaktor mikro yang akan membungkus enzim dan substrat (zat yang bereaksi dengan enzim).

Dengan metode ini, produk yang dihasilkan mencapai 85 persen. Walaupun masih pada tahap trial di laboratorium dan selanjutnya harus dikonversikan pada skala besar industri. Dengan persentase hasil yang tinggi ini, para peneliti yakin, tidak lama lagi tegagosa akan bisa diproduksi secara komersial dan akan mengisi setiap rak-rak di supermarket.

Enzim yang dipakai untuk memproduksi tagatose dari galaktosa adalah L-arabinose isomerase (LAI). Karena galaktosa bukanlah target utama dari enzim ini, reaksi yang terjadi antara enzim dan galaktosa tidak terlalu optimal.

Dan sebagai solusinya,karena enzim ini sendiri mempunyai sifat yang tidak stabil, dan reaksi yang terjadi hanya menghasilkan sekitar 39 persen gula yang kemudian dikonversikan menjadi tagatose pada suhu 37 derajat celcius (sekitar 99 derajat Fahrenheit), dan hanya 16 persen pada suhu 50 derajat celcius, sebelum akhirnya enzim kehilangan fungsinya.




Nair dan Bober mencari cara untuk mengatasi masalah ini. Dengan memanfaatkan Lactobacillus plantarum- bakteri yang aman bagi makanan- untuk memperbesar kuantitas dari enzim LAI dan membuatnya lebih stabil dengan menyimpan enzim tersebut di dalam dinding selnya.

Selanjutnya mereka menemukan, ketika berada di dalam dinding sel bakteri L. plantarum, enzim tetap bekerja mengubah galaktosa menjadi tagakosa hingga mencapai 47 persen pada suhu 37 derajat Celcius. Dan dengan kondisi yang lebih stabil di dalam sel, enzim LAI mampu meningkatkan hasil produksi hingga 83 persen pada temperatur lebih tinggi, yaitu 50 derajat Celcius tanpa ada indikasi penurunan fungsi enzim secara signifikan, dan dalam waktu produksi yang lebih singkat, artinya kecepatan produksi tagatose menjadi semakin tinggi.

Dan untuk bisa membuat reaksi menjadi lebih cepat dari sebelumnya, Nair dan Bober menyelidiki, apa yang membatasi kecepatannya. Mereka menemukan bukti bahwa faktor yang membatasinya adalah kecepatan bahan baku awal, yaitu galaktosa ketika memasuki dinding sel. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka menambahkan zat detergen dalam konsentrasi kecil ke dalam bakteri, agar dinding sel bakteri dapat dengan mudah ditembus oleh galaktosa dan kemudian tagatose dengan mudah dapat dikeluarkan dari dinding sel bakteri, menjadikan proses konversi galaktosa menjadi tagatose lebih cepat, menghemat waktu produksi hingga beberapa jam untuk menghasilkan produk 85 persen pada suhu 50 derajat Celcius.



“Anda tidak dapat melawan hukum termodinamika. Tetapi jika memang harus, anda bisa melawan batasan tersebut dengan solusi teknis,” kata Nair, yang juga penulis artikel ini. “Adalah sebuah fakta bahwa air tidak akan bisa mengalir dari dari tempat yang rendah ketempat yang lebih tinggi karena air mengikuti hukum termodinamika. Anda bisa mengalahkan sistem dengan, misalnya menggunakan siphon, yang akan menarik air ke atas terlebih dahulu sebelum akhirnya mengeluarkannya.”

Membungkus enzim di dalam dinding sel untuk stabilitas, menjalankan reaksi pada suhu yang lebih tinggi, dan menambahkan material tambahan agar membran sel lebih mudah ditembus adalah “siphon” yang digunakan agar reaksi berlangsung lebih cepat.



Dan masih dibutuhkan riset lanjutan untuk mengaplikasikan proses ini pada skala komersial,dengan fasilitas biomanufaktur, berpotensi menghasilkan produk dengan jumlah yang lebih tinggi, dan pastinya akan berpengaruh pada pasar pemanis buatan, yang diestimasi bernilai $7,2 milyar di tahun 2018, menurut perusahaan riset pemasaran Knowledge Sourcing Intelligence.

Nair dan Bober juga mencatat bahwa ada banyak jenis enzim yang bisa memanfaatkan bakteri sebagai reaktor mikro yang bisa meningkatkan stabilitas enzim ketika direaksikan pada suhu tinggi, demikian juga dengan laju proses dan hasil dari reaksi konversi dan sintesa. Dan akan dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat kemungkinan pengaplikasian teknologi ini untuk jenis industri lainnya, mulai dari bahan baku makanan hingga plastik.