BAGIKAN
Bret Kavanaugh/Unsplash

Sebuah studi yang memanfaatkan para pasien epilepsi yang sedang menjalani operasi, telah memberikan para ilmuwan suatu kesempatan untuk melacak secara mendetail bagaimana pergerakan pikiran di dalam otak manusia, mulai dari inspirasi hingga respons.

Penemuan yang dipublikasikan pada tahun 2018 ini menegaskan peran korteks prefrontal sebagai koordinator interaksi kompleks antara wilayah yang berbeda. Menghubungkan persepsi kita dengan tindakan dan berfungsi sebagai apa yang dapat dianggap sebagai “perekat kognisi”.

Upaya sebelumnya untuk mengukur pergerakan informasi dari suatu area ke area lainnya bergantung pada proses seperti electroencephalography (EEG) atau functional magnetic resonance imaging (fMRI). Cara-cara ini, meskipun jauh lebih aman namun resolusinya kurang dari sempurna.

Studi yang dipimpin oleh para peneliti dari University of California, Berkley, mencatat aktivitas listrik neuron menggunakan teknik presisi yang disebut electrocorticograhy (ECoG).

Terdiri dari ratusan elektroda kecil yang ditempatkan dengan tepat di depan korteks, sehingga lebih detail daripada EEG dan lebih tajam resolusinya pada saat fMRI. Meskipun menimbulkan tingkat risiko yang tidak etis bagi rata-rata sukarelawan, namun para pasien yang menjalani operasi epilepsi aktivitas otaknya dimonitor dengan cara ini. Para peneliti menggunakan kesempatan baik tersebut.

Masing-masing dari 16 subjek uji melakukan sejumlah tugas yang bervariasi sesuai dengan susunan elektrodanya. Pada saat yang sama, aktivitas saraf mereka dipantau dan dilacak.

Peserta diminta untuk mendengarkan stimulus dan meresponnya, atau melihat gambar sebuah wajah atau seekor hewan di layar, lalu diminta untuk melakukan suatu tindakan.

Beberapa tugas lebih kompleks dari yang lain; misalnya, tindakan sederhana yang melibatkan pengulangan kata, sementara versi yang lebih rumit memikirkan antonimnya.

Para peneliti memantau pergerakan sepersekian detik aktivitas listrik dari satu area – seperti area yang terkait dengan menafsirkan rangsangan pendengaran – ke korteks prefrontal, ke area yang diperlukan untuk membentuk suatu tindakan, seperti korteks motorik.

Meskipun tidak ada yang memberikan kejutan, hasilnya dengan jelas menekankan peran korteks prefrontal dalam mengarahkan aktivitas.

Untuk beberapa tugas, masukannya cukup terbatas. Di tempat lain, area tersebut diharuskan bekerja keras, mengelola sinyal dari berbagai bagian otak untuk mengoordinasikan pengenalan kata, mungkin mengumpulkan ingatan sebelum mulai bekerja dengan sekelompok otot untuk memberikan sebuah jawaban baru.

“Studi yang sangat selektif ini telah menemukan bahwa korteks frontal adalah orkestrator, menghubungkan hal-hal bersama untuk hasil akhir,” kata ahli saraf Robert Knight dari UC Berkeley. “Itu adalah perekat kognisi.”

Korteks prefrontal terlihat tetap aktif sepanjang sebagian besar proses berpikir, seperti yang diharapkan untuk wilayah multitasking di otak. Semakin cepat perpindahan dari satu area ke area lainnya, semakin cepat pula orang merespons stimulusnya.

“Studi fMRI sering menemukan bahwa ketika tugas semakin sulit, kita melihat lebih banyak aktivitas di otak, dan khususnya di korteks prefrontal,” kata ahli saraf Avgusta Shestyuk penulis utama studi tersebut.

“Di sini, kami dapat melihat bahwa ini bukan karena neuron benar-benar bekerja sangat keras dan sepanjang waktu, tetapi lebih banyak area korteks yang direkrut.”

Yang mengejutkan adalah detail tentang waktu yang tepat di setiap area.

Beberapa area yang merespons menyala sangat awal, seringkali selama stimulus, menunjukkan bahwa bahkan sebelum kita memiliki respons lengkap yang berguna, otak kita sudah menyiapkan bagian-bagian korteks itu untuk bertindak.

“Ini mungkin menjelaskan mengapa orang terkadang mengatakan sesuatu sebelum mereka berpikir,” saran Shestyuk.

Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Human Behavior.