BAGIKAN
Sel-T berinteraksi dengan gel transparan. [Credit: Hawley Pruitt]

Dalam sebuah studi melalui percobaan yang dilakukan terhadap tikus, para ilmuwan telah berhasil menciptakan getah bening buatan berupa gel khusus yang dapat mengaktifkan serta melipat gandakan sel-sel sistem kekebalan tubuh yang dapat melawan kanker. Dengan harapan, suatu hari nanti dapat memasukkan kelenjar getah bening buatan ini pada manusia dan memicu sel-T untuk melawan penyakit.

Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang penemuan telah mengembangkan berbagai teknik terbaru untuk menggunakan sel-T — sejenis sel darah putih — dalam pengobatan kanker.

Agar berhasil, sel-sel tersebut harus dipersiapkan, atau diperlakukan secara khusus sehingga dapat mengenali dan bereaksi terhadap sel kanker.

Melatih sel-T dengan cara ini biasanya terjadi pada kelenjar getah bening, sebuah kelenjar berukuran kecil berbentuk kacang yang ditemukan di seluruh tubuh yang menampung sel-T. Tetapi pada pasien yang menderita kanker dan gangguan sistem kekebalan tubuh lainnya, proses pembelajaran ini tidak bisa dilakukan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, terapi untuk memicu sel-T yang saat ini lazim dilakukan adalah dengan mengeluarkan sel-T dari darah pasien penderita kanker dan menanamkannya kembali setelah dilakukan rekayasa genetika atau mengaktifkan sel-sel T-nya sehingga dapat mengenali kanker.

Salah satu perawatan tersebut, yang disebut dengan terapi CAR-T, biayanya sangat mahal dan masih terbatas. Selain itu, biasanya dibutuhkan sekitar enam hingga delapan minggu untuk membiakkan sel-T di dalam laboratorium dan setelah ditanamkan kembali ke dalam tubuh, sel-sel tersebut tidak akan mampu bertahan lama sehingga efek dari pengobatannya relatif singkat.

Para ilmuwan dari Johns Hopkins University menawarkan cara yang lebih efisien dalam rekayasa terhadap sel-T, dan laporannya diterbitkan di jurnal Advanced Materials.

“Kami percaya bahwa lingkungan sel-T sangat penting. Biologi tidak terjadi pada cawan plastik; namun terjadi pada jaringan,” kata John Hickey dari Universitas Johns Hopkins dan penulis pertama dari laporan penelitian.

Untuk membuat lingkungan sel T yang direkayasa lebih realistis secara biologis, Hickey mencoba menggunakan polimer seperti jeli, atau hidrogel, sebagai platform untuk sel-T. Dengan menggunakan hidrogel, para ilmuwan menambahkan dua jenis sinyal yang merangsang dan “mengajarkan” sel-T untuk mengasahnya terhadap target asing untuk dihancurkan.

Dalam percobaan mereka, sel-T yang diaktifkan pada hidrogel menghasilkan 50 persen lebih banyak molekul yang disebut sitokin, sebuah penanda aktivasi, dibandingakan dengan sel-T yang tersimpan di dalam cawan kultur plastik.

Karena hidrogel dapat dibuat sesuai keinginan, para ilmuwan Johns Hopkins menciptakan dan menguji serangkaian hidrogel, mulai dari sel tunggal yang sangat halus hingga kualitas yang lebih kaku dari kelenjar getah bening yang dipenuhi sel.

“Salah satu temuan mengejutkan adalah bahwa sel-T lebih menyukai lingkungan yang sangat halus, mirip dengan interaksi dengan sel-sel individual, sebagai lawan dari jaringan yang padat,” kata Schneck.

Lebih dari 80 persen sel-T pada permukaan lunak bertambah banyak, dibandingkan dengan jenis hidrogel yang paling kuat yang tidak terdapat sel-T.

Ketika tim Johns Hopkins menempatkan sel-T ke dalam hidrogel, mereka menemukan bahwa sel-T melipat ganda dari hanya beberapa sel menjadi sekitar 150.000 sel — jumlah yang besar untuk terapi kanker — dalam tujuh hari. Sebaliknya, ketika para ilmuwan menggunakan metode konvensional lain untuk merangsang dan memperbanyak sel-T, mereka hanya mampu membiakkan 20.000 sel dalam waktu tujuh hari.

Dalam rangkaian percobaan berikutnya, para ilmuwan menanamkan sel-T yang telah direkayasa sebelumnya baik pada hidrogel halus mapun cawan kultur plastik, pada beberapa tikus yang ditanamkan melanoma – semacam kanker kulit yang mematikan. Tumor pada tikus dengan sel T yang dikultur pada hidrogel tetap dalam ukuran stabil, dan beberapa lainnya bertahan hidup lebih dari 40 hari. Sebaliknya, tumor tumbuh di sebagian besar tikus yang ditanamkan dengan sel-T yang dikultur dalam cawan plastik, dan tidak ada yang hidup lebih dari 30 hari.

“Ketika kami menyempurnakan hidrogel dan mereplikasi fitur penting dari lingkungan alami, termasuk faktor-faktor kimia pertumbuhan yang memicu sel-T melawan kanker dan sinyal lainnya, kami pada akhirnya akan dapat merancang kelenjar getah bening buatan untuk terapi berbasis imunologi regeneratif,” kata Schneck, seorang anggota Pusat Kanker Johns Hopkins Kimmel.

Para ilmuwan telah mengajukan paten terkait dengan teknologi hidrogel yang dijelaskan dalam laporan mereka.