BAGIKAN
(Rawpixel)

Para peneliti menemukan adanya keterkaitan antara COVID-19 dengan kerusakan fatal pada otak. Virus corona ternyata tidak hanya menyerang saluran pernapasan dan paru-paru saja. Ditemukan beberapa pasien yang mengidap COVID-19 mengalami pembengkakan otak disertai dengan serangan delirium (gangguan mental parah yang menyebabkan penderitanya mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar).

Hasil dari penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal Brain.

Dilansir dari Business Insider, beberapa pasien lainnya mengalami gejala kelainan sistem saraf seperti sindrom Guillain-Barré yang menyebabkan penderita mengalami kelumpuhan, dan bahkan hingga mengalami stroke yang mengancam jiwa.

Para peneliti menemukan bahwa gejala-gejala neurologis akibat COVID-19 tidak hanya terbatas pada pasien-pasien dengan kasus parah (pasien yang memerlukan ventilator dan bantuan oksigen).



Para peneliti melakukan penelitian pada 43 orang pasien virus corona yang berusia antara 16 hingga 85 tahun. Semuanya dirawat di National Hospital for Neurology and Neurosurgery di London antara tanggal 9 April hingga 15 Mei 2020.

10 dari pasien-pasien tersebut mengalami pembengkakan yang parah pada otak mereka, disertai dengan serangan delirium. Salah satu pasien, seorang wanita berusia 55 tahun yang sebelumnya tidak pernah memiliki riwayat psikiatrik, mulai menunjukkan perilaku aneh tiga hari setelah dipulangkan dari rumah sakit, menurut suaminya.

Wanita ini memakai dan melepas mantelnya secara berulang-ulang, kemudian mulai mengalami halusinasi visual dan pendengaran. Ia mengatakan melihat penampakan singa dan monyet di rumahnya. Kemudian pasien ini mengalami sindrom capgras, sebuah kelainan psikiatrik dimana seseorang menyangka orang-orang terdekatnya (teman atau anggota keluarga) telah digantikan oleh penipu yang meniru.

Dan pada 12 orang pasien lainnya yang diobservasi dalam penelitian ini mengalami pembengkakan pada pusat sistem saraf mereka; satu orang dalam kelompok ini telah meninggal dunia. Sembilan dari 12 pasien-pasien tersebut didiagnosis penyakit acute disseminated encephalomyelitis (ADEM), sebuah penyakit langka dimana terjadi pembengkakan pada sistem saraf yang biasanya menyerang otak dan sumsum tulang belakang anak-anak setelah terkena penyakit infeksi seperti gondongan atau campak.

Para peneliti melaporkan bahwa jumlah kasus penyakit ADEM di rumah sakit meningkat dari hanya satu kasus per bulan sebelum pandemi menjadi dua atau tiga kasus per minggu di bulan April dan Mei.

Tujuh orang pasien lainnya dalam penelitian ini terdiagnosa sindrom Guillain-Barré, beberapa diantaranya mengalami gejala-gejala neurologis hingga tiga minggu setelah timbulnya gejala-gejala COVID-19.

Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa kondisi-kondisi neurologis yang mengancam jiwa pasien tidak selalu menyebabkan timbulnya gejala-gejala gangguan pernafasan parah, artinya kondisi paru-paru pasien mungkin baik-baik saja, tetapi kondisi otak mungkin tidak.

Delapan orang pasien pada penelitian ini, termasuk seorang wanita berusia 27 tahun dengan gejala COVID-19 ringan, mengalami stroke yang disebabkan oleh gumpalan darah di otak mereka.

Hasil penelitian terbaru lainnya juga menemukan bahwa pada pasien-pasien yang berusia muda dengan gejala ringan COVID-19, mengalami penyumbatan pembuluh darah yang mengarah pada komplikasi seperti stroke. Pada bulan April, sekelompok dokter di New York City melaporkan bahwa lima orang pasien COVID-19 yang berusia 30 tahunan dan 40 tahunan, dan sebagian besar dari mereka tidak memiliki riwayat medis, mengalami stroke yang mengancam jiwa dan mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit.

Dan sebuah penelitian lainnya pada 214 orang pasien dengan COVID-19 pada tiga rumah sakit di Wuhan,China, ditemukan bahwa 36 persen dari mereka mengalami gejala-gejala neurologis seperti seperti gangguan kesadaran dan penyakit-penyakit Cerebrovaskular (penyakit pada pembuluh darah di otak), dan juga serangan stroke. Namun, penelitian ini belum menjalani tahap peer review.

Michael Zandi, salah seorang peneliti dan timnya menganjurkan para dokter untuk memastikan timbulnya konsekuensi jangka panjang pandemi pada pasien-pasien yang telah sembuh dari COVID-19. Mereka mengkhawatirkan terjadinya kerusakan otak yang mungkin tidak terdeteksi dalam beberapa waktu setelah pasien pulang dari rumah sakit.



“Kekhawatiran kami adalah sekarang ini ada jutaan orang yang terkena COVID-19. Dan jika dalam satu tahun ada 10 juta orang yang telah sembuh, dan mereka menderita defisit kognitif pada otak, yang akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja dan dan melakukan aktivitas sehari-hari,” kata Adrian Owen, seorang neuroscientist yang tidak terlibat dalam penelitian ini kepada Reuter.

Fenomena ini mirip dengan yang terjadi beberapa dekade lalu, setelah pandemi flu Spanyol berakhir: antara tahun 1917 hingga 1930 an, lebih dari 1 juta orang terdiagnosa penyakit encephalitis lethargia atau “penyakit mengantuk.”

Penyakit ini disebabkan oleh pembengkakan yang terjadi pada otak, menyebabkan penderita terus menerus merasakan kantuk dan terkena penyakit neurodegeneratif akut hingga menyebabkan kelumpuhan.

Zandi mengatakan pada The Guardian bahwa para ilmuwan mengkhawatirkan adanya epidemi tersembunyi yang timbul setelah epidemi COVID-19, dimana gejala-gejala gangguan pada sistem saraf akan muncul dalam beberapa tahun setelahnya. Tetapi Zandi menambahkan bahwa masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan tersebut saat ini.

Zandi mengatakan pada Reuters bahwa saat ini beberapa ilmuwan mengkhawatirkan adanya dampak tidak langsung dari virus corona, yaitu epidemi “kerusakan otak yang terkait dengan pandemi”.