BAGIKAN
Parasit Malaria (university of Glasgow)

Ratusan ribu tahun yang lalu, nenek moyang kita berhasil mengembangkan sebuah cara sederhana untuk menghindari penyakit infeksi tertentu. 

Sebuah penelitian terbaru berhasil menemukan bukti terjadinya mutasi antar 60.000 hingga 2 juta tahun yan lalu yang menjadi bagian dari serangkaian proses adaptasi yang mungkin secara tidak sengaja membuat kita rentan pada beberapa jenis penyakit inflamasi atau bahkan pada beberapa jenis patogen.

Sebuah tim peneliti internasional melakukan riset dengan membandingkan sekitar seribu genom manusia dengan genom dari beberapa ras manusia purba, seperti Neanderthal dan Desinovan, untuk bisa mengisi beberapa detail yang menghilang dari kelompok senyawa kimia yang menyelubungi sel-sel pada tubuh manusia. Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan dalam Genome Biology and Evolution.

Asam sialat, adalah senyawa karbohidrat yang berbentuk seperti daun yang berada di ujung protein yang menutupi permukaan sel-sel manusia.

Kanopi pada permukaan sel yang terbuat dari senyawa gula ini adalah pintu pertama yang berhadapan dengan virus atau bakteri ketika akan menginfeksi sel. Jadi tidak heran jika senyawa kimia ini bekerja bagaikan seorang petugas penjaga pintu masuk, mengidentifikasi siapapun yang akan masuk, apakah teman atau lawan.

Perubahan pada penanda asam sialat di sel manusia dapat menyebabkan terbentuknya beberapa jenis penyakit pada manusia. Tetapi ada satu perubahan tertentu yang terjadi pada semua manusia yang menarik perhatian para peneliti untuk di pahami lebih dalam.

Kebanyakan dari mamalia, termasuk yang memiliki keterkaitan erat dengan kera, memiliki senyawa di dalam tubuh mereka yang dikenal dengan nama N-glycol neuraminic acid atau Neu5Gc. Dan karena proses mutasi, asam sialat dalam bentuk senyawa ini menghilang dari sel manusia, meninggalkan bentuk prekursornya N-acetylneuraminic acid (Neu5Ac).

Para peneliti sebelum ini berspekulasi bahwa proses mutasi ini terseleksi pada manusia agar parasit malaria seperti Plasmodium knowlesi menjadi sulit untuk melekatkan dirinya pada sel-sel darah merah manusia.

Dan proses mutasi ini juga terjadi pada beberapa jenis hewan, termasuk burung, kelelawar, dan bahkan ikan paus.

Karena pada simpanse masih ditemukan gen dari Neu5Gc, proses mutasi ini pastinya telah ada selama 6 juta tahun, pada masa ketika simpanse dan manusia belum terpisah satu sama lain.

Proses ini mungkin saja terjadi jauh setelah masa itu. Pada penelitian terbaru terungkap bahwa Neanderthal dan Denisovan memiliki varian asam sialat yang sama, artinya perubahan terjadi sebelum pohon keluarga manusia terpecah sekitar 400.000 hingga 800.000 tahun yang lalu.

Penanda asam sialat hanyalah satu bagian dari keseluruhan kisah mutasi ini. Untuk bisa membedakan sel-sel manusia dengan patogen, sel-sel imun dilengkapi dengan senyawa pemindai yang diberi nama sialic acid-binding immunoglobulin-type lectin, atau disingkat dengan nama Siglecs.

Secara alami, setiap ada perubahan pada senyawa asam sialat pada sel tentu saja berpengaruh pada sistem pemindaian dari senyawa siglecs. Setelah meneliti lebih jauh, para peneliti menemukan terjadinya mutasi yang cukup penting pada gen-gen siglec yang sangat umum terjadi pada manusia, tetapi tidak pada kera besar.

Dan senyawa pemindai ini tidak hanya ditemukan pada sel-sel imun. Menurut hasil penelitian, ditemukan juga pada jaringan lainnya, seperti pada otak, plasenta dan pencernaan.

Mekanisme radikal dari sel-sel sistem imun ini cukup krusial pada sistem pertahanan tubuh manusia. Jika hipotesis parasit malaria benar adanya, akan membuat senyawa Neu5Ac pada setiap manusia yang hidup di suatu area menjadi rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh parasit.

Ekspresi senyawa siglec berkaitan dengan penyakit-penyakit asma dan alzheimer, meningkatkan kemungkinan bahwa perlindungan terhadap penyakit tertentu meningkatkan risiko timbulnya penyakit lainnya pada manusia.

Akibat dari mutasi ini juga menyebabkan manusia rentan terhadap beberapa penyakit yang diakibatkan oleh infeksi patogen lainnya. Beberapa jenis virus dan bakteri dapat dengan mudah masuk ke dalam sel-sel manusia dengan mengikatkan dirinya pada senyawa asam sialat, menyebabkan manusia rentan terkena penyakit-penyakit seperti kolera, cacar air, influenza dan virus corona, tetapi tidak demikian halnya dengan kera besar.

“Kebanyakan virus corona menginfeksi manusia dalam dua tahap – pertama dengan mengenali kelompok senyawa asam sialat sebagai batu pijakan awal, kemudiaN mulai mencari protein reseptor yang sesuai, seperti ACE2,” kata Ajit Varki, seorang dokter, pada Science Magazine.

Dan anehnya, ketika dilakukan eliminasi gen Neo A5c pada tikus, malah meningkatkan kemampuan fisik hewan ini sehingga dapat berlari lebih cepat dan mengaktivasi bagian-bagian lainnya dari sistem imun mereka. Mutasi ini mungkin saja menghasilkan kemampuan kognitif dan kemampuan fisik pada manusia beberapa juta tahun yang lalu, tetapi juga memberikan manusia penyakit-penyakit seperti kolera dan asma.

Proses evolusi mungkin telah menjalankan tugasnya dengan baik, tetapi tidak bisa juga dibilang sempurna.